Oleh: Sumarsono
son_tribunkaltim@yahoo.com
pemiluindonesiaku.blogspot.com - KOMISI Pemilihan Umum memutuskan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 7 daerah ditunda hingga 2017. Pilkada serentak yang rencananya digelar pada Desember 2015 terpaksa diundurkan, karena hanya menampilkan pasangan tunggal calon kepala daerah.
Ada 7 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon, yakni Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kota Mataram (NTB), Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Kota Surabaya (Jawa Timur), dan Kota Samarinda (Kaltim).
Sebagian besar pasangan calon tunggal adalah petahana yang memiliki kans menang cukup tinggi, sehingga ada kesan tidak ada parpol yang berani mengusung calon untuk bertanding. Sebut saja, Walikota Surabaya Tri Rusmaharini. Siapa yang tidak kenal Bu Risma. Dia kembali maju bersama wakilnya, Wisnu Sakti Buana. Di Solo ada duet FX Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo. Tak kalah serunya, di Samarinda. Pasangan petahana Syaharie Jaang-Nusyirwan tetap kompak maju bersama, meski sebelumnya dikabarkan bakal pecah kongsi.
Tidaknya adanya calon lain yang maju dalam Pilkada melawan calon petahanan merupakan fenomena baru dalam demokrasi di negeri ini. Calon tunggal berbahaya bagi demokrasi. Calon tunggal mengandaikan tidak ada kompetisi. Padahal, semakin banyak calon yang bersaing, kualitas demokrasi akan semakin baik. Calon tunggal juga menunjukkan proses kaderisasi di parpol tidak jalan.
Partai politik lebih memilih pragmatis (jalan pintas) mengusung calon yang sudah populer di masyarakat, tanpa melihat latar belakangnya. Tak salah jika sekarang ini parpol cenderung hanya menjadi "perahu" menuju kursi kekuasaan. Maka muncul istilah mahar politik. Bakal calon yang mau maju bisa menggunakan parpol tertentu sebagai perahu perlu membayar mahar. Benar atau salah, hanya calon dan petinggi parpol yang tahu.
Munculnya calon tunggal menunjukkan kaderisasi partai gagal. Parpol sebagai kawah candradimuka atau tempat penggemblengan dan menyiapkan kader menunju kursi kekuasaan gagal. Hal ini memperlihatkan partai kesulitan memiliki calon-calon alternatif.
Sesungguhnya mengajukan sebanyak mungkin calon alternatif maju dalam pilkada merupakan investasi bagi partai. Partai akan memiliki kader-kader potensial yang punya pengalaman politik. Politik ibarat lari maraton, bukan estafet.
Berbeda dengan proses pemilihan kepala desa (pilkades) yang calonnya bukan diusung partai politik. Aneh, jika dalam proses pilkada calon tunggal akan bersaing dengan kotak kosong. Bagaimana dengan wacana aklamasi atau calon tunggal langsung ditetapkan sebagai calon terpilih?
Budaya aklamasi bukan hal tabu dalam demokrasi, namun sepertinya harus ditinggalkan. Memang, calon tunggal bisa berarti tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap seorang tokoh. Tapi di situ juga bisa terselip kemungkinan adanya politik uang. Bisa jadi calon tunggal membayar partai agar tidak ada calon lain yang tampil. Dengan uang, mereka bisa meminta calon lain mengundurkan diri.
Beruntung masih banyak daerah yang bisa bisa ikut pilkada serentak. Kota Balikpapan, termasuk daerah yang dinamis. Menjelang detik-detik pendaftaran calon di KPU, muncul 5 pasangan calon, 3 pasangan calon diusung parpol, 2 pasangan calon independen. Pasangan calon mana saja yang akan bertanding pada Desember 2015 mendatang, kita tunggu keputusan KPU Kota Balikpapan. Selamat bertanding secara "fair play". Uang bukan segalanya dalam politik. Lebih indah jika para calon bersaing mengajak masyarakat lebih cerdas memilih. Jangan uang dan bingkisan yang ditawarkan kepada masyarakat. Tapi, visi dan misi sebagai calon pemimpin daerah lah yang perlu dijual.
Sumber: kaltim.tribunnews.com - 8 Agustus 2015
son_tribunkaltim@yahoo.com
pemiluindonesiaku.blogspot.com - KOMISI Pemilihan Umum memutuskan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 7 daerah ditunda hingga 2017. Pilkada serentak yang rencananya digelar pada Desember 2015 terpaksa diundurkan, karena hanya menampilkan pasangan tunggal calon kepala daerah.
Ada 7 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon, yakni Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kota Mataram (NTB), Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), Kota Surabaya (Jawa Timur), dan Kota Samarinda (Kaltim).
Sebagian besar pasangan calon tunggal adalah petahana yang memiliki kans menang cukup tinggi, sehingga ada kesan tidak ada parpol yang berani mengusung calon untuk bertanding. Sebut saja, Walikota Surabaya Tri Rusmaharini. Siapa yang tidak kenal Bu Risma. Dia kembali maju bersama wakilnya, Wisnu Sakti Buana. Di Solo ada duet FX Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo. Tak kalah serunya, di Samarinda. Pasangan petahana Syaharie Jaang-Nusyirwan tetap kompak maju bersama, meski sebelumnya dikabarkan bakal pecah kongsi.
Tidaknya adanya calon lain yang maju dalam Pilkada melawan calon petahanan merupakan fenomena baru dalam demokrasi di negeri ini. Calon tunggal berbahaya bagi demokrasi. Calon tunggal mengandaikan tidak ada kompetisi. Padahal, semakin banyak calon yang bersaing, kualitas demokrasi akan semakin baik. Calon tunggal juga menunjukkan proses kaderisasi di parpol tidak jalan.
Partai politik lebih memilih pragmatis (jalan pintas) mengusung calon yang sudah populer di masyarakat, tanpa melihat latar belakangnya. Tak salah jika sekarang ini parpol cenderung hanya menjadi "perahu" menuju kursi kekuasaan. Maka muncul istilah mahar politik. Bakal calon yang mau maju bisa menggunakan parpol tertentu sebagai perahu perlu membayar mahar. Benar atau salah, hanya calon dan petinggi parpol yang tahu.
Munculnya calon tunggal menunjukkan kaderisasi partai gagal. Parpol sebagai kawah candradimuka atau tempat penggemblengan dan menyiapkan kader menunju kursi kekuasaan gagal. Hal ini memperlihatkan partai kesulitan memiliki calon-calon alternatif.
Sesungguhnya mengajukan sebanyak mungkin calon alternatif maju dalam pilkada merupakan investasi bagi partai. Partai akan memiliki kader-kader potensial yang punya pengalaman politik. Politik ibarat lari maraton, bukan estafet.
Berbeda dengan proses pemilihan kepala desa (pilkades) yang calonnya bukan diusung partai politik. Aneh, jika dalam proses pilkada calon tunggal akan bersaing dengan kotak kosong. Bagaimana dengan wacana aklamasi atau calon tunggal langsung ditetapkan sebagai calon terpilih?
Budaya aklamasi bukan hal tabu dalam demokrasi, namun sepertinya harus ditinggalkan. Memang, calon tunggal bisa berarti tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap seorang tokoh. Tapi di situ juga bisa terselip kemungkinan adanya politik uang. Bisa jadi calon tunggal membayar partai agar tidak ada calon lain yang tampil. Dengan uang, mereka bisa meminta calon lain mengundurkan diri.
Beruntung masih banyak daerah yang bisa bisa ikut pilkada serentak. Kota Balikpapan, termasuk daerah yang dinamis. Menjelang detik-detik pendaftaran calon di KPU, muncul 5 pasangan calon, 3 pasangan calon diusung parpol, 2 pasangan calon independen. Pasangan calon mana saja yang akan bertanding pada Desember 2015 mendatang, kita tunggu keputusan KPU Kota Balikpapan. Selamat bertanding secara "fair play". Uang bukan segalanya dalam politik. Lebih indah jika para calon bersaing mengajak masyarakat lebih cerdas memilih. Jangan uang dan bingkisan yang ditawarkan kepada masyarakat. Tapi, visi dan misi sebagai calon pemimpin daerah lah yang perlu dijual.
Sumber: kaltim.tribunnews.com - 8 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
PEMILU