Hasil Quick Count Pilpres 2014. Prabowo Hatta VS Jokowi-JK. Populi Center 49.05% :50.95%. CSIS 48.10% :51.90%. Litbang Kompas 47.66% :52.33%. IPI 47.05% :52.95%. LSI 46.43% :53.37%. RRI 47.32% :52.68%. SMRC 47.09% :52.91%. Puskaptis 52.05% :47.95%. IRC 51.11% :48.89%. LSN 50.56% :49.94%. JSI 50.13% :49.87% .

KABINET KERJA

Rabu, 22 Juli 2015

Kawal Pilkada, Selamatkan Daerah

pemiluindonesiaku.blogspot.com - Pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak, yang akan diselenggarakan pada akhir 2015, dapat menjadi peluang dalam pemberantasan korupsi di daerah.

Tetapi, apabila tidak dikawal dan diawasi, yang terjadi justru sebaliknya: pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa menjadi ancaman yang akan makin menyuburkan korupsi di daerah.

Korupsi di daerah sudah masuk fase gawat darurat. Dalam beberapa bulan terakhir deretan kasus yang melibatkan pejabat daerah dan DPRD berhasil diungkap aparat penegak hukum, antara lain di Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), Morotai (Maluku Utara), dan Bangkalan (Jawa Timur). Hasil kajian Indonesia Corruption Watch memperlihatkan kasus korupsi di daerah cenderung meningkat setiap tahunnya.

Modus dan proses korupsi

Data yang ada menunjukkan, tren pemberantasan korupsi pada 2013 dan 2014 setidaknya 95 persen kasus berlokasi di kabupaten, kota, dan provinsi. Kasus korupsi di daerah umumnya memiliki banyak kesamaan dari sisi obyek dan modus, pelaku, serta proses.

Pertama, obyek dan modus korupsi. Bagi daerah yang memiliki banyak sumber daya alam sasarannya berada di sektor pendapatan. Modus korupsinya dengan obral perizinan, setoran liar, dan mark down pendapatan daerah. Bagi daerah-daerah yang miskin sumber daya alam, konsentrasi korupsi pada sisi belanja. Kasus yang paling banyak terungkap adalah proyek-proyek pengadaan, seperti pembangunan infrastruktur, pembelian barang dan jasa, serta program bantuan kemasyarakatan.

Kedua, pelaku korupsi. Didominasi oleh pegawai satuan kerja perangkat daerah/dinas (SKPD), anggota DPRD, dan kepala daerah. Sebagian besar kasus bahkan melibatkan ketiganya sekaligus. Mereka membentuk semacam jemaah korupsi di daerah. Pihak yang mengawasi dan diawasi justru bersatu padu membobol anggaran daerah. Apalagi dari sisi eksternal, kondisi di sebagian besar daerah, pengawasan dari masyarakat masih sangat minim.

Ketiga, proses korupsi. Selalu diawali oleh korupsi politik, korupsi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan secara politik di daerah, seperti kepala daerah dan anggota DPRD. Biasanya dilakukan pada saat perencanaan anggaran dengan cara menitip atau memaksa berbagai usulan program atau proyek masuk dalam RAPBD. Mulai dari proyek pengadaan barang dan jasa hingga jatah program bantuan sosial dan hibah.

Korupsi politik akan dilanjutkan oleh korupsi birokrasi. Hasil kompromi antara kepala daerah dan DPRD akan dieksekusi birokrasi masing-masing SKPD atau badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda). Para abdi negara ini yang bertugas secara teknis untuk memasukkan daftar kegiatan dan proyek titipan ketika APBD dirancang.

Dalam implementasi anggaran, birokrasi di SKPD berperan mengawal dan memuluskan kegiatan dan proyek yang telah dipesan oleh atasan. Caranya dengan memanipulasi proses tender, merekayasa spesifikasi barang, dan bikin kegiatan fiktif.

Birokrasi merupakan eksekutor korupsi karena mereka yang bertugas secara langsung mengimplementasikan anggaran. Bagi sebagian besar birokrasi, perintah atasan-sekalipun bermasalah-adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Walau begitu tak tertutup kemungkinan birokrasi di SKPD berinisiatif sendiri mengorupsi APBD.

Sudah banyak pendekatan untuk menekan korupsi di daerah. Dari sisi regulasi, pemerintah mengeluarkan instruksi presiden mengenai aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, mempromosikan berbagai inovasi mulai dari e-budgeting, e-procurement hingga mendorong penyederhanaan kelembagaan dan birokrasi pelayanan publik, seperti program pelayanan satu atap.

Berbagai pendekatan tersebut ternyata tak terlalu efektif walau juga tak bisa dikatakan gagal dalam mengurangi korupsi di daerah. Sebagian besar hanya menyentuh aspek teknis. Padahal, hulu masalah korupsi di daerah berkaitan aspek politis, terutama komitmen dan keseriusan kepala daerah dan anggota DPRD untuk tidak melakukan korupsi.

Prasyarat utama untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi korupsi di daerah adalah adanya pemimpin yang tidak hanya bersih, tetapi juga memiliki keberanian dan komitmen kuat untuk melawan korupsi. Dibutuhkan kepala daerah "juara". Salah satunya yang sering dijadikan rujukan saat ini adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Basuki tidak hanya keras terhadap anak buah yang menyimpangkan kewenangan, tetapi juga berani menolak permintaan "jatah anggaran" dari DPRD.

Para pemimpin yang memiliki komitmen anti korupsi tidak akan menjadikan birokrasinya sebagai operator korupsi. Sebaliknya mereka akan menjaga dan mengawasi anak buahnya. Selain itu, tanpa dipaksa pun mereka akan menggunakan berbagai perangkat, seperti e-budgeting, e-procurement, dan pelayanan satu atap untuk mengurangi korupsi di daerahnya.

Momentum penting

Salah satu momentum penting untuk mendorong munculnya kepala daerah "juara" adalah pemilihan kepala daerah langsung yang akan diselenggarakan secara serentak pada akhir tahun nanti. Sejatinya pilkada adalah alat warga untuk menghukum kepala daerah korup dan mempromosikan kandidat yang lebih berintegritas. Pilkada merupakan momentum penting untuk melawan korupsi di daerah.

Terpilihnya kepala daerah "juara" menjadi modal penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah, seperti yang ingin diwujudkan dalam kebijakan otonomi daerah dan pilkada langsung. Pilkada merupakan kunci keberhasilan penerapan otonomi daerah.

Setidaknya ada tiga pihak yang bisa berperan besar dalam menjaga pilkada agar melahirkan kepala daerah yang bersih, berkualitas, berani, dan pro pemberantasan korupsi, yaitu partai politik, pemilih, dan penyelenggara pemilihan. Mereka yang akan menentukan korupsi di daerah makin marak atau mulai berkurang.

Partai politik dapat berperan dengan cara memilih kandidat terbaik bukan penyedia uang perahu terbanyak. Calon kepala daerah yang mereka usung berasal dari hasil seleksi ketat sehingga tidak menyulitkan pemilih untuk menentukan pilihan. Kekhawatiran munculnya dinasti yang menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi bisa dicegah oleh partai dengan melakukan seleksi yang benar.

Peran pemilih dengan memilih kandidat terbaik yang diusung partai atau melalui jalur perseorangan. Pertimbangan rasional yang dijadikan dasar membuat pilihan, seperti rekam jejak, visi dan misi, serta program yang usung kandidat. Mereka tidak menukar suara dengan uang atau barang. Sementara penyelenggara berperan dengan menjaga agar proses pemilihan berlangsung jujur dan adil. Mereka tidak memberi ruang bagi kandidat untuk melakukan kecurangan dan korupsi. Apalagi terlibat dalam kecurangan, seperti memanipulasi hasil perhitungan suara.

Memang bukan hal mudah membuat petinggi partai, pemilih, dan penyelenggara pada tingkat lokal untuk bersikap dan bertindak ideal. Karena itu, harus ada pihak yang memulai untuk melakukan perubahan. Dan, perubahan itu bisa dari para ketua umum partai yang benar-benar mengawal proses penyaringan kandidat kepala daerah, pemerintah dengan memperbaiki banyak "lubang" dalam aturan main pilkada, dan masyarakat sipil dengan melakukan pemantauan pelaksanaan pemilihan.

Ade Irawan
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Kawal Pilkada, Selamatkan Daerah".
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMILU