Hasil Quick Count Pilpres 2014. Prabowo Hatta VS Jokowi-JK. Populi Center 49.05% :50.95%. CSIS 48.10% :51.90%. Litbang Kompas 47.66% :52.33%. IPI 47.05% :52.95%. LSI 46.43% :53.37%. RRI 47.32% :52.68%. SMRC 47.09% :52.91%. Puskaptis 52.05% :47.95%. IRC 51.11% :48.89%. LSN 50.56% :49.94%. JSI 50.13% :49.87% .

KABINET KERJA

Selasa, 25 Oktober 2016

Ahok-Djarot Nomor Urut 2 , Agus-Sylvia Nomor 1, dan Anies-Sandiaga Nomor Urut 3

pemiluindonesiaku.blogspot.com - Pengundian nomor urut calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta digelar di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (25/10/2016).

Dalam pengundian tersebut, pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat memperoleh nomor urut dua.

Sementara itu, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murnimendapatkan nomor urut satu, sedangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh nomor urut tiga.

Sumber: http://megapolitan.kompas.com - Selasa, 25 Oktober 2016 | 20:42 WIB

Kamis, 22 September 2016

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017

pemiluindonesiaku.blogspot.com - Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017 (selanjutnya disebut Pilgub Jakarta 2017) akan dilaksanakan pada 2017 untuk menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022. Ini merupakan pemilihan kepada daerah ketiga bagi Jakarta yang dilakukan secara langsung menggunakan sistem pencoblosan. 

BERITA SEKITAN PILGUB DKI

Demokrat Bantah Pilgub DKI Pertarungan Mega, Prabowo & SBY

BOGOR - Partai Demokrat membantah jika dalam pertarungan di Pilgub DKI Jakarta 2017 mendatang merupakan pertarungan antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri. Wakil Ketua Umum (Waketum) Demokrat Syarief Hasan mengatakan, pada pertemuan Koalisi Kekeluargaan di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, memang tidak dihadiri Gerindra dan PKS. Adapun ketidakhadiran dua partai tersebut lantaran ........ baca selengkapnya

 

Dukung Ahok, PDIP Dianggap Khianati Wong Cilik

JAKARTA - Pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menyayangkan sikap Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Konsistensi PDIP membela Wong Cilik patut dipertanyakan. PDIP tidak lagi dianggap...... baca selengkapnya

PDI-P Masuk, Golkar Tak Masalah Struktur Tim Pemenangan Ahok-Djarot Berubah

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menyatakan, Golkar tidak mempermasalahkan apabila ada perubahan struktur tim pemenangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, setelah PDI Perjuangan mendeklarasikan dukungannya kepada calon petahana itu. "Kita enggak ada masalah meskipun saat dibentuk sebelumnya pada waktu itu dalam sebuah acara, saudara Nusron (ditunjuk)...... baca selengkapnya

Rizal Ramli dan Anies Baswedan Dinilai Calon Kuat Lawan Ahok-Djarot

Mantan Menteri Pedidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli dianggap sebagai calon kuat untuk melawan pasangan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Dua nama itu dinilai dapat mengubah situasi politik Pilkada DKI Jakarta yang anti-klimaks setelah PDI-P menduetkan Ahok dan Djarot. "Nama-nama seperti......... baca selengkapnya


Berharap Diusung, Sandiaga Serahkan Hasil Survei Ini ke Petinggi Parpol

Sebelum bertemu Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan sejumlah petinggi PKS di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (21/9/2016) siang, bakal calon gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, membawa berjilid-jilid buku survei yang telah dicetak massal oleh stafnya.
Survei itu berisi data terakhir elektabilitas para kandidat gubernur DKI Jakarta, yang dirilis oleh lembaga survei Poltracking Indonesia. "Pak Prabowo minta saya siapkan bahan untuk....... baca selengkapnya

Yusril: Rapat di Cikeas Belum Final karena Ingin "Head to Head" dengan Ahok

Bakal calon gubernur DKI Jakarta, Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan rapat terkait Pilkada DKI Jakarta 2017 di kediaman Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu (21/9/2016) kemarin belum mencapai kata sepakat.
 Rapat itu dihadiri oleh Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional. "Saya dengar sampai tadi malam belum final," kata Yusril saat dihubung........ baca selengkapnya

 


Rabu, 27 Juli 2016

Ini Susunan Menteri Baru Hasil Reshuffle

Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri usai mengumumkan perombakan kabinet atau reshuffle jilid II, Jakarta, 27 Juli 2016. Joko Widodo mengumumkan 13 nama perombakan di kabinet Kerja sisa masa jabatan periode 2014-2019.
pemiluindonesiaku.blogspot.com - Jakarta -  Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan susunan menteri-menteri barunya dalam kabinet kerja periode 2014-2019 di Istana Negara hari ini. Dalam pengumuman tersebut, terdapat sejumlah wajah baru yang menjadi menteri, selain menteri yang digeser posisinya ke kementerian dan lembaga.

“Saya memutuskan untuk melakukan perombakan kabinet kerja yang kedua,” ujar Presiden Jokowi dalam sambutannya saat pelantikan di Istana Negara, Rabu, 27 Juli 2016.

Presiden Jokowi mengatakan, perombakan ini dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin. Perombakan ini diharapkan bisa menyelesaikan masalah perekonomian bangsa saat ini. 

Pergeseran posisi menteri dan lembaga terjadi pada:
  1. Luhut Binsar Panjaitan menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.
  2. Bambang Brojonegoro menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.
  3. Sofyan Djalil menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang.
  4. Thomas Trikasih Lembong menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Sementara yang masuk menjadi menteri baru pada kabint ini, antara lain:
  1. Wiranto menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
  2. Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan.
  3. Eko Putro menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi.
  4. Budi Karya menjadi Menteri Perhubungan.
  5. Muhajir Effendi menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
  6. Enggartiasto Lukito menjadi Menteri Perdagangan.
  7. Archandra Tahar menajdi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
  8. Asman Abnur menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
  9. Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian.

Sumbe: nasional.tempo.co - Rabu 27 Juli 2016

Ini Sembilan Wajah Baru dalam Kabinet Kerja

pemiluindonesiaku.blogspot.com - Presiden Joko Widodo disebut akan melakukan perombakan kabinet alias reshuffle. Pelantikan jajaran menteri baru tersebut direncanakan digelar di Istana Negara, Jakarta, Rabu (27/7/2016).


Penelusuran Kompas, sembilan nama baru akan mengisi pos menteri dalam Kabinet Kerja. Siapa saja mereka?

1. Budi Karya Sumadi
Budi ditempatkan menjadi Menteri Perhubungan menggantikan Ignasius Jonan. Sebelum menjadi Menteri Perhubungan, Budi saat ini menjadi Direktur Utama Angkasa Pura II.


2. Archandra Tahar
Archandra Tahar mendapat kepercayaan Presiden Joko Widodosebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Archandra menggantikan Sudirman Said yang tak lagi masuk kabinet.

Archandra merupakan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) dan merupakan salah satu pengusul off shore blok Masela. Dia juga memiliki firma di Amerika Serikat.


3. Airlangga Hartarto

Airlangga Hartato mendapat jabatan sebagai Menteri Perindustrian, menggantikan Saleh Husin. Airlangga adalah representasi dari Partai Golkar yang belakangan menyatakan dukungannya kepada pemerintah.


4. Prof. Muhajir
Prof. Muhajir adalah mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Presiden Jokowi memberikan kepercayaan kepada Muhajir untuk menjabat Menteri Pendidikan Nasional menggantikan Anies Baswedan.


5. Eko Putro Sanjoyo
Eko Putro Sanjoyo adalah politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dia menggantikan posisi rekan sesama partainya, Marwan Jafar yang dicopot dari jabatan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Desa, dan Transmigrasi.


6. Asman Abnur
Asman Abnur adalah representasi dari Partai Amanat Nasional(PAN). Sebelum Golkar, PAN juga lebih dulu menyatakan dukungannya kepada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Asman akan dilantik sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, menggantikan Yuddy Chrisnandi.

7. Sri Mulyani Indrawati
Sri Mulyani kini kembali ke Indonesia setelah berkiprah di dunia internasional dengan menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Kini, dia mendapat mandat dari Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Keuangan, menggantikan Bambang Brodjonegoro.


8. Enggartiasto Lukita
 
Enggar adalah politisi Partai Nasdem dan juga seorang pengusaha. DIa pernah menjadi Ketua Real Estate Indonesia (REI). Kini, dia mendapat mandat dari Presiden Jokowi untuk menjadi Menteri Perdagangan, menggantikan Thomas Lembong yang digeser menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).


9. Wiranto
Wiranto saat ini menjadi Ketua Umum Partai Hanura. Namun, dia dipercaya Jokowi untuk menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan.

Presiden Jokowi dijadwalkan melantik para menteri baru pada pukul 14.00 di Istana Negara.

Setelah itu, presiden akan langsung menggelar sidang kabinet paripurna pada pukul 15.00 dengan agenda pengarahan presiden serta pembahasan Pagu Anggaran dan RAPBN tahun 2017.
Sumber: nasional.kompas.com - Rabu 27 Juli 2016 

Kamis, 21 Januari 2016

Peroleh suara terbanyak, Rita-Edi Raih 2 rekor Muri


pemiluindonesiaku.blogspot.com - TENGGARONG, Bupati terpilih Rita Widyasari dan pasangannya Edi Damansyah mendapatkan 2 penghargaan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sekaligus, yakni, Perempuan Kepala Daerah dari Jalur Independen yang Memperoleh Dukungan Suara 100% di TPS Terbanyak dan Perempuan Kepala Daerah dari Jalur Independen yang Memperoleh Persentase Terbanyak pada PILKADA Serentak 2015.

Penghargaan diberikan oleh Yusuf Ngadri Senior Manajer MURI pada acara Tasyakuran dan Doa bersama yang digelar di Pendopo Odah Etam, Selasa (19/1/2016) malam.

Hadir dalam acara tersebut Penjabat (Pj) Bupati Chairil Anwar, Ketua DPRD Salehuddin, Dandim 0906 Letkol Inf. Ari Permana Sakti, Unsur FKPD, dan bupati terpilih Rita Widyasari yang didampingi Ibunda Dy. Kartini Syaukani dan wakil bupati terpilih Edi Damansyah.

Yusuf Ngadri mengatakan, penghargaan itu diberikan MURI kepada Rita Widyasari dan Edi Damansyah atas keberhasilannya terpilih sebagai pasangan bupati dan wakil bupati dari jalur Independen yang mengalahkan rivalnya dengan memperoleh dukungan suara 89,43 % dari suara sah. MURI juga mencatat pasangan Rita Widyasari dan Edi Damansyah sebagai calon bupati perempuan yang memperoleh suara tertinggi dan sebagai pasanngan calon kepala daerah yang berhasil menang 100 persen di 12 TPS.

Sementara itu Bupati terpilih Rita Widyasari merasa bahagia dengan penghargaan ini, dirinya tidak menyangka mendapatkan rekor MURI, “Ini diluar perkiraan saya, hampir 90 persen perolehan suara, artinya hampir semua orang memilih nomor urut 1” Ujar Rita. Rita berharap dapat memenuhi harapan besar masyarakat yang telah memilihnya, karena masyarakat masih menginginkan suatu perubahan yang berkesinambungan, “Pada periode dua ini saya akan berusaha semaksimal mungkin memenuhi harapan masyarakat Kukar untuk meningkatkan kesejahteraan yang lebih baik lagi” pungkasnya. (beritakaltara - 20012016)

Selasa, 05 Januari 2016

Danny-Ical Pecah Kongsi, Jalan Terjal Menuju Pilwalkot Makassar

 
pemiluindonesiaku.blogspot.com - MAKASSAR – Tanda-tanda pecah kongsi antara Walikota Makassar Danny Pomanto dengan Wakil Walikota Makassar Syamsu Rizal alias Deng Ical mulai terlihat.


Baik Danny dan Ical terlihat lebih memilih jalan sendiri-sendiri turun ke masyarakat. Banyak pihak yang menilai tanda-tanda tersebut akan menyebabkan dua figur ini tidak akan kembali berpasangan di Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Makassar 2018 mendatang.

Direktur Indeks Politica Indonesia (IPI) Suwadi Idris Amir mengatakan, jika Danny dan Ical sapaan akrab Syamsu Rizal sama-sama akan maju di Pilwalkot Makassar sebagai Cawalkot Makassar, maka kekuatan Danny-Ical di Pilwalkot Makassar lalu akan terpecah.

“Kalau benar Danny dan Ical sama-sama maju sebagai Cawalkot maka kekuatan mereka akan terpecah. Di sisi lain itu akan membuat Pilwalkot akan semakin ketat,” paparnya.

Apalagi, kata dia, figur lain juga memiliki popularitas yang kuat dan bisa menyaingi Danny.

“Pak Danny sangat tergantung kinerjanya selama menjadi Walikota untuk bisa melenggang kembali kedua kalinya. Jika Pak Danny sukses memimpin maka, tentu potensi menang terbuka tapi jika biasa biasa saja maka ke empat calon pesaingnya berpotensi menggantikannya,” sebutnya.

sumber: pojoksulsel.com

Pilkada Serentak Tanpa Gereget

 
pemiluindonesiaku.blogspot.com - Jakarta – Akhirnya pesta demokrasi lokal di 264 wilayah terselenggara secara serentak 9 Desember lalu. Dari sisi keserentakan dan penyelenggaraan, pilkada ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia dengan tingkat konflik yang bisa diminimalisir.


Namun demikian, bukan berarti pilkada serentak ini lepas dari kelemahan. Antusiasme publik kurang terlihat, sehingga mengakibatkan target KPU rata-rata partipasi pemilih sebesar 77,5% tidak tercapai. Animo masyarakat yang kurang bukan hanya terlihat pada tingkat partisipasi yang rendah, tapi juga bisa dideteksi pada proses pelaksanaan yang adem ayem.

Ada beberapa alasan utama mengapa pilkada serentak kurang gereget. Pertama, amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan anggota DPR, DPD dan DPRD mundur dari jabatannya jika ikut bertarung dalam pilkada.

Inilah alasan struktural yang membuat persaingan antarkandidat merosot drastis. Fenomena calon tunggal dan banyaknya wilayah yang hanya diikuti dua pasangan, di antaranya disebabkan oleh aturan baru produk MK ini.

Salah satu pemasok utama kepemimpinan daerah adalah anggota DPR, DPRD dan DPD. Ketika mereka diharuskan mundur ketika mencalonkan diri, tentu banyak yang berpikir seribu kali, apalagi jika peluang kemenangannya kecil.

Hilangnya sumber utama rekrutmen pemimpin lokal, mempengaruhi persaingan di tingkat elit berimplikasi secara luas: publik disodori pilihan yang terbatas dan dipaksa memilih dari menu yang tersedia.

Kedua, sosialisasi pasangan calon pilkada juga dibatasi dan diserahkan kepada KPU. Akibatnya fatal. Menurut survei-survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia sebelum pilkada 2015, banyak pemilih yang tidak mengetahui ada perhelatan demokrasi di wilayahnya.

Padahal, semarak pilkada selama ini ditunjang oleh geliat pasangan calon dan timsesnya dalam mendekati pemilih.

Sosialisasi KPU yang lemah plus aneka ragam pembatasan kampanye ini bukan hanya berujung pada minimnya greget pilkada, tapi juga menguntungkan petahana. Sejelek-jeleknya kinerja petahana, setidaknya mereka sudah dikenal warganya.

Sementara para penantang biasanya punya problem klasik: minim popularitas. Inilah yang sebagian menjelaskan mengapa petahana dengan rekam jejak buruk bisa melenggang kangkung terpilih untuk kali kedua.

Aturan pembatasan sosialisasi ini awalnya ditujukan untuk menciptakan playing field yang adil, antara pasangan calon yang berkantong tebal dan tipis.

Diharapkan, pasangan calon yang punya integritas dan kapabilitas memadai tapi tak punya modal kapital yang besar, bisa bertarung secara fair dengan mereka yang disokong sumberdaya finansial kuat.

Tapi apa mau dikata, muncul unintended consequences di mana petahana yang sudah mempunyai investasi politik selama lima tahun, justru menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan aturan ini.

Terjadilah hukum besi pemilihan langsung: logika kapabilitas dan integritas tidak serta merta berbanding lurus dengan logika pasar elektoral. Kandidat yang memiliki rekam jejak memukau seringkali tidak memiliki popularitas memadai. Pembatasan sosialisasi membuat “berlian” ini tak mampu menunjukkan pesonanya di hadapan pemilih.

Tentu tidak semua petahana memiliki indeks kinerja yang medioker. Beberapa petahana seperti Tri Rismaharini di Surabaya atau Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, membuktikan bahwa pemilih mengganjar petahana yang berkinerja baik, dengan imbalan kedipilihan yang mencapai hampir 90%.

Tapi harus diakui, sebagian besar petahana terpilih karena memiliki keunggulan komparatif kedikenalan dibanding calon lain, terlepas kinerjanya pas-pasan atau tidak.

Dalam menentukan kandidat yang didukung, partai politik juga bersikap pragmatis dengan mengedepankan kandidat yang memiliki popularitas tinggi.

Dengan memakai pendekatan pemasaran politik, perbaikan kepemimpinan daerah bisa dilakukan melalui dua jalur: Pertama, mengubah demand-side (pemilih) agar sudi memilih calon yang memenuhi kriteria integritas.

Kedua, melalui jalur supply-side dengan “memaksa” partai politik sebagai pihak yang memiliki tiket konstitusional, agar mengusung calon seideal mungkin dalam pilkada.

Di atas kertas, jauh lebih sulit mendidik publik agar memilih kandidat yang baik, karena warga juga memiliki keterbatasan informasi. Dari sisi jumlah, ada ratusan juta pemilih dengan tingkat pendidikan yang terbatas.

Lebih mudah mendesakkan agenda perbaikan sumberdaya pemimpin lokal di tingkat elit partai, ketimbang berjibaku melakukan pendidikan pemilih dengan jumlah sebesar itu.

Tapi apa boleh buat, partai politik lebih suka memilih calon yang potensial menang terlepas apakah rekam jejaknya baik atau buruk. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak dinasti politik berjaya di banyak tempat.

Ini pula yang menyebabkan ada bekas narapidana kasus korupsi atau tersangka kasus hukum bisa memenangkan pilkada. Partai-partai menyodori pilihan yang sama-sama buruk, sehingga pemilih seperti di-fait accomply.

Perlu diingat, kasus korupsi tidak memiliki efek elektoral yang besar dalam pemilu, jika pemilih tidak cukup punya informasi mengenai isu korupsi yang bersangkutan.

Dengan menggunakan teknik eksperimen di Brasil, Winters dan Weitz-Shapiro (2010) menemukan bahwa pemilih cenderung menolak politisi korup, jika mereka memperoleh informasi memadai yang disosialisasikan secara kredibel dan dijangkau publik secara lebih luas.

Pekerjaan rumah terakhir yang perlu digaris bawahi adalah meningkatkan partisipasi pemilih dari kalangan kelas menengah. Inilah anomali perilaku pemilih kita: kelas menengah yang memiliki tingkat informasi dan pendidikan yang lebih baik cenderung golput pada hari “H”.

Padahal mereka memiliki evaluasi yang baik, sehingga pilihan kelas menengah bisa membantu calon-calon yang punya rekam jejak baik agar terpilih dalam pilkada. Tingginya golput di kalangan kelas menengah, jelas tidak membantu bagi proses perbaikan politik elektoral kita.

sumber: liputan6.com

Selasa, 01 September 2015

Jajak Pendapat "Kompas"Publik dan Pilkada

pemiluindonesiaku.blogspot.com - Pemilihan kepala daerah yang akan dilakukan secara serentak 9 Desember nanti akan menguji kemampuan daerah untuk menyerap esensi demokrasi. Sejauh ini, dengan berbagai kekurangannya, pilkada dinilai telah memberi harapan tumbuhnya iklim demokrasi yang sejuk di daerah.

Dalam waktu tiga bulan ke depan, 250-an pemerintahan daerah se-Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung secara serentak.

Aspek keserentakan dalam hajatan demokrasi ini, akan memberi citra positif bahwa rakyat di negeri ini mampu menjalankan prosedur demokrasi tanpa masalah berarti.

Berkaca dari pilkada sebelumnya, salah satu impian yang mulai terwujud adalah munculnya beberapa kepala daerah yang mengubah cara kerja birokrasi yang lamban, memperbaiki fasilitas umum yang terbengkalai, dan menata kehidupan publik yang nyaman. Aspek-aspek itu merupakan bagian dari pelayanan publik yang bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat.

Enam dari 10 responden (63,4 persen) menyatakan puas terhadap kinerja pemerintah daerah dalam layanan publik (pendidikan, kesehatan, perizinan). Responden yang berada di kota di Pulau Jawa dan luar Jawa sama-sama memberi penilaian positif terkait hal tersebut. Peringkat proporsi responden yang menyatakan puas terhadap pelayanan publik pemda (dari yang tertinggi) adalah Surabaya, Palembang, Denpasar, Banjarmasin, Yogyakarta, Semarang, dan DKI Jakarta. Proporsi kepuasan mencapai 78 persen hingga 62 persen.

Berbeda dengan capaian layanan publik yang dinilai membaik, aspek pembangunan ekonomi dinilai masih kurang memuaskan meski dengan jawaban bervariasi. Responden di Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Pontianak tampak cukup optimistis dengan pertumbuhan perekonomian daerah.

Adapun soal pemberantasan kemiskinan dan penegakan hukum dinilai belum memuaskan mayoritas publik di semua kota.

Demokratis

Sebagai sebuah kekuatan perubahan sosial, daya tarik pilkada juga tampak dari pandangan umum bahwa pilkada, terlepas dari berbagai kekurangan, sudah dilaksanakan dengan demokratis. Demokratis di sini diartikan bahwa proses pemilihan dilakukan secara bersih, adil, dan jujur. Ini setidaknya diungkapkan oleh 61,4 persen responden ketika diminta menilai pelaksanaan pilkada di daerah masing-masing, sedangkan 29,2 persen menyatakan sebaliknya.

Isu politik uang yang kerap muncul dalam setiap pilkada juga diakui tetap ada, tetapi tak dominan. Sekitar seperlima bagian publik mengatakan tahu adanya pembagian uang, bahan pokok, dan hadiah sebagai imbalan pemberian suara kepada pasangan tertentu. Proporsi publik yang menjawab demikian merata di 12 kota domisili responden meski proporsi daerah di luar Jawa sedikit lebih tinggi ketimbang di kota-kota di Jawa.

Pencapaian lain dari esensi demokrasi dalam pilkada ialah besarnya minat publik untuk berpartisipasi. Setidaknya, delapan dari setiap 10 responden (84,2 persen) mengatakan akan menggunakan hak pilih jika ada pilkada di daerahnya. Meski demikian, data nasional rata-rata tingkat partisipasi pilkada di daerah biasanya menunjukkan angka di bawah itu.

Penyelenggaraan pilkada memang masih jauh dari idealisme demokrasi substantif. Meski demikian, pilkada langsung telah membuka peluang alternatif yang terbukti memberi sejumlah kemajuan dalam iklim politik daerah sekaligus pembangunan kesejahteraan. Rakyat memilih pemimpin mereka sendiri dengan harapan lahir sosok yang berkualitas sekaligus aspiratif yang bisa membawa perbaikan untuk daerahnya. Namun, bagaimanakah mereka memilihnya?

Pilkada serentak kali ini kembali menguji kemampuan masyarakat untuk memilih kepala daerah mereka secara demokratis. Salah satu indikatornya adalah penyikapan publik dalam memilih dibandingkan dengan latar belakang primordial mereka. Hasilnya menunjukkan, publik cenderung menunjukkan keterbukaan sikap dalam memilih calon kepala daerah, terlepas dari unsur primordialisme.

Sebanyak 79,7 persen responden mengatakan, memilih pemimpin dengan latar belakang sesama putra daerah tidak menjadi keharusan. Dari segi asal-usul partai, 83,9 persen responden menyatakan tak harus sama dengan partai yang dipilih dalam pemilu. Demikian pula dalam soal agama dan jender, lebih banyak responden yang menyatakan agama dan jender calon tak harus sama dengan mereka.

Kondisi demikian menyiratkan kecenderungan pemilih yang lebih menitikberatkan pertimbangan rasional dalam menentukan pemimpin daerahnya. Namun, sebanyak dua dari tiga responden menuturkan belum memiliki gambaran yang jelas tentang sosok calon kepala daerah yang sesuai harapan mereka. Ini sesuai dengan kondisi saat ini ketika para calon yang akan bertarung belum mengampanyekan diri secara optimal.

Preferensi publik atas calon sangat mungkin berubah jika tahap sosialisasi program-program nantinya digencarkan para calon kepala daerah. Artinya, bisa saja aspek rasional mengecil dan aspek primordial membesar.

Demikian pula soal elektabilitas petahana. Preferensi responden terhadap calon petahana ternyata tidak terlalu besar dalam jajak ini. Berbeda dengan perkiraan kuatnya posisi petahana, hanya sepertiga bagian responden (31,1 persen) yang menjawab akan memilih kepala daerah mereka yang mencalonkan diri kembali pada Pilkada 2015. Sepertiga bagian responden lain memilih calon kepala daerah yang baru dan sepertiga lagi belum menentukan pilihan.

Dalam soal preferensi memilih petahana, hanya Kota Surabaya yang tampaknya tetap memikat publik. Di kota ini, mayoritas responden (56,8 persen) menjawab akan memilih petahana saat ini, sedangkan di kota-kota lain preferensi publik bagi petahana berada di kisaran seperlima hingga sepertiga bagian responden.


Fenomena lain dari pilkada serentak kali ini ialah menyusutnya jumlah calon perseorangan. Ini tampaknya terkait dengan semakin beratnya syarat dukungan (yang dibuktikan dengan melampirkan fotokopi kartu identitas penduduk) untuk calon perseorangan. Proporsinya mengikuti jumlah penduduk. Dibandingkan dengan pilkada sebelumnya, ketentuan syarat dukungan calon perseorangan naik dua kali lipat, yaitu dari minimal 3,5 persen dalam pilkada sebelumnya menjadi 6,5 persen dari jumlah penduduk. Ketentuan itu termuat dalam UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Boleh jadi saat ini belum muncul prestasi menonjol kepala daerah dari jalur perseorangan dalam memimpin daerah. Meski demikian, perhatian publik terhadap kehadiran calon perseorangan relatif besar. Sebagian publik tetap membuka peluang untuk memilih mereka karena yakin secara kualitas kemampuan calon perseorangan lebih baik ketimbang calon dari parpol.

Khawatir konflik

Terkait rencana penyelenggaraan pilkada serentak, mayoritas responden mengatakan telah mengetahui momen ini dari pemberitaan media massa dan media-media lain. Sejumlah kekhawatiran pun muncul. Politik uang dan konflik antar-pendukung menjadi kekhawatiran utama responden. Gesekan yang terjadi sebelum atau sesudah pilkada berpotensi destruktif karena besarnya skala pilkada kali ini melibatkan lebih dari 250 daerah.

Meskipun demikian, proporsi publik yang khawatir sedikit lebih rendah daripada yang tak khawatir. Demikian pula tingkat keyakinan publik bahwa pilkada akan membawa perubahan yang lebih baik bagi kondisi daerah masih lebih dominan daripada yang tak yakin.

Ini berarti modal sosial dan politik pilkada masih cukup besar untuk melangsungkan hajatan mekanisme demokrasi langsung di Indonesia. (Toto Suryaningyas/LITBANG KOMPAS)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 5 dengan judul "Jajak Pendapat "Kompas"Publik dan Pilkada".

Senin, 31 Agustus 2015

Drama Politik yang Tak Kunjung Usai

Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana (Risma-Wisnu), calon wali kota dan wakil wali kota yang diusung PDI Perjuangan untuk maju dalam pemilihan wali kota (Pilwali) Surabaya 2015, diarak naik becak saat hendak mendaftar ke KPU Surabaya, Jalan Adityawarman, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (26/7/2015). Pasangan petahana (incumbent) itu menjadi yang pertama mendaftar untuk bertarung pada Pilwali 9 Desember mendatang.
pemiluindonesiaku.blogspot.com - Subandi (50), seorang penjual rujak keliling, menggelengkan kepala ketika mendengar kabar bahwa Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya akan membuka kembali pendaftaran peserta pemilihan kepala daerah untuk keempat kalinya, Minggu (30/8/2015). Sebagai warga biasa, Subandi lelah mengikuti informasi itu.

Ia tidak bisa memahami mengapa kota sebesar Surabaya terkesan sulit sekali mencari calon pemimpin. Padahal, kota ini memiliki banyak perguruan tinggi ternama. Orang yang punya keahlian menata dan mengelola sebuah kota pun seharusnya tidak sulit ditemukan. Namun, berbagai kejutan dan masalah terus muncul di setiap tahapan pilkada Surabaya.

Masalah pertama muncul ketika pada pendaftaran peserta pilkada 26-28 Juli 2015, hanya pasangan calon petahana, yaitu Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana, yang mendaftar. Hingga pendaftaran usai, tidak ada pasangan calon lain yang mendaftar.

Fenomena calon tunggal ini kemudian ditangkap KPU dengan kebijakan membuka lagi pendaftaran pada 1-3 Agustus 2015. Senin (3/8/2015) muncul bakal calon lainnya, Dhimam Abror dan Haries Purwoko, yang diusung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Dhimam adalah mantan wartawan yang juga Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia Jatim dan Haries adalah Ketua Majelis Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Kota Surabaya. Dhimam sudah lama mendeklarasikan diri maju dalam pilkada ini, sedangkan Haries baru terlihat saat pendaftaran.

Namun, saat mendaftar, tiba-tiba Haries menghilang sehingga proses pendaftaran pun dibatalkan. Haries mengaku tidak mendapat restu dari ibunya. Situasi politik menjadi gaduh dan pilkada Surabaya terancam mundur sampai tahun 2017.

Melihat situasi ini, KPU sekali lagi memberikan kesempatan dengan membuka pendaftaran pada 9-11 Agustus 2015. Lagi-lagi pesaing Risma-Whisnu muncul pada hari terakhir pendaftaran. Kali ini, Dhimam Abror menjadi bakal calon wakil wali kota mendampingi Rasiyo sebagai bakal calon wali kota yang juga diusung Partai Demokrat dan PAN. Rasiyo adalah mantan Sekretaris Daerah Provinsi Jatim dan mantan guru.

Pendaftaran Rasiyo-Dhimam diterima KPU. Namun, persoalan baru muncul ketika surat rekomendasi dari PAN berupa surat elektronik yang melampirkan scan foto surat rekomendasi itu. Seharusnya, pada saat pendaftaran, surat yang asli diserahkan. PAN beralasan bahwa mereka sedang menggelar musyawarah wilayah di Kediri sehingga tak sempat membawa surat itu. PAN berjanji akan menyerahkan surat yang asli.

Hari-hari berikutnya, surat rekomendasi itu semakin tidak jelas keberadaannya. Pengurus PAN Surabaya mengatakan tidak tahu. Delapan hari setelah pendaftaran, Rabu (19/8), surat rekomendasi yang asli baru diserahkan kepada KPU Surabaya. Namun, masalah belum selesai karena PAN maupun KPU terkesan menutupi wujud surat rekomendasi itu dan kembali menimbulkan kecurigaan.

Hasilnya, Minggu (30/8) siang, KPU Surabaya mengumumkan bahwa Rasiyo-Dhimam gugur karena berkas mereka tidak memenuhi syarat. Surat rekomendasi yang ditunjukkan saat pendaftaran dan pada masa perbaikan berkas tidak identik. Selain itu, Dhimam juga tidak menyerahkan surat keterangan bebas tunggakan pajak.

Meresahkan

”Kalau pilkada tak jelas, kami juga resah, apalagi kalau akhirnya sampai ditunda gara-gara persoalan yang tidak penting. Surabaya akan dipimpin orang lain yang kami tidak kenal,” kata Ryzkian Ariandi (24), tenaga pengajar Rumah Bahasa, lembaga kursus bahasa asing gratis milik Pemkot Surabaya.

Ryzkian khawatir penjabat wali kota Surabaya tidak memiliki visi yang sama dengan pemerintah sebelumnya. Ia khawatir berbagai program baik yang sudah dirintis terhenti.

Sesuai aturan, jika diundur, Surabaya akan dipimpin oleh penjabat wali kota yang diusulkan Pemerintah Provinsi Jatim dan disetujui Kementerian Dalam Negeri. Jika dihitung dari akhir masa jabatan Risma-Whisnu, penjabat itu akan memerintah Surabaya sekitar dua tahun, waktu yang lama untuk seorang kepala daerah sementara.

Dipimpin seorang penjabat wali kota, kata Ryzkian, ibarat membeli kucing dalam karung. Warga sama sekali tidak mengenal pemimpin tersebut. Berbeda dengan kepala daerah yang melalui proses pilkada yang sudah dikenal ketika berkampanye.

M Irfan, tukang becak, mengatakan, rakyat kecil hanya ingin memilih pemimpin dan berharap pemimpin itu bisa membawa kotanya lebih maju. ”Saya tidak mau tahu soal ontran-ontran (gonjang-ganjing) yang terjadi,” katanya.

Menurut pengamat politik Universitas Muhammadiyah Surabaya, Umar Sholahudin, kegaduhan semacam ini baru kali ini terjadi di Surabaya. Kegaduhan itu berdampak buruk terhadap warga yang tidak memperoleh pendidikan politik yang semestinya. ”Kegaduhan ini terjadi karena sejak awal petahana dipersepsikan sebagai petahana yang sangat kuat sehingga sulit dilawan,” kata Umar.

Lawan-lawan politik petahana pun cenderung berspekulasi ketika memunculkan pesaing. Hal ini juga akibat buruknya kaderisasi di dalam partai politik. Jika partai politik sudah siap 2-3 tahun sebelumnya, bukan 6 bulan sebelumnya, situasi seperti ini mungkin tidak terjadi.

Akibat ketimpangan kekuatan politik itu, Umar menilai, semua yang terjadi selama tahapan pilkada ini merupakan cermin dari hasil dari negosiasi politik. ”Ini menjadi drama yang melelahkan dan warga dipertontonkan adegan yang sebetulnya tidak penting.” katanya.(HERPIN DEWANTO/AGNES SWETTA PANDIA) 
Sumber: regional.kompas.com - 31 Agustus 2015