pemiluindonesiaku.blogspot.com- Dalam pemilu legislatif tahun ini, di tingkat nasional kita dapati 12 partai akan berkompetisi. Dari 12 partai tersebut, tercatat hanya ada satu partai baru yang belum pernah ikut pemilu sebelumnya, yakni Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Meski baru, pendiri sekaligus pimpinannya bukanlah orang baru di dunia perpolitikan Indonesia. Surya Paloh, ketua umumnya, besar di Partai Golkar, bahkan pernah menjadi Ketua Dewan Penasehat partai yang berjaya selama pemerintahan Orde Baru tersebut.
Di kala tingkat trust publik kita terhadap partai politik demikian tipis (terbukti dengan meningkatnya angka golput dari pemilu ke pemilu) kemunculan partai baru tentu berpotensi dilirik sebelah mata. “Paling juga sama saja dengan partai-partai yang sudah ada,” barangkali begitulah tanggapan yang akan terlontar dari sebagian di antara kita.
Akan tetapi saya pribadi, meski sering merasa kecewa dengan parpol-parpol di negeri kita dan elite-elitenya, namun tetap merasa tak nyaman dan tak bertanggung jawab jika dengan mudahnya memilih golput. Bolehlah kita memilih untuk tidak memilih. Tapi kalau alasannya karena “tidak mau ambil pusing” atau “putus harapan”, saya pikir tak tepat juga memutuskan demikian. Oleh karena itu, setidaknya dalam tulisan ini, saya berusaha mencari sisa-sisa harapan yang mungkin masih ada agar saya punya cukup motivasi untuk melangkah ke TPS 9 April nanti. Dan saya coba mengais harapan itu dengan mempertimbangkan kemunculan partai baru di pemilu (yang kali ini, kebetulan saja partai itu hanya Nasdem).
Pertimbangan pertama, dalam empat kali pemilu sejak tumbangnya Orde Baru (termasuk Pemilu 2014 ini) kemunculan partai baru bukanlah hal yang asing bagi kita. Bahkan di Pemilu 2004 dan 2009 partai baru yang muncul mencapai puluhan. Dari yang sudah-sudah, meski setelah sekian waktu pasca-pemilu banyak skandal yang menjerat kader-kader partai tersebut, namun partai-partai baru terbukti memberikan warna perubahan pada peta perpolitikan kita. Setidaknya, hadirnya partai baru mampu menyegarkan iklim kompetitif di panggung perpolitikan. Iklim ini penting untuk “memaksa” tiap-tiap partai memperbaiki kinerjanya demi bertahan dalam kompetisi politik tanah air.
Kedua, kendati baru, namun partai-partai yang muncul belakangan biasanya didirikan atau dipimpin oleh orang-orang lama yang sudah berpengalaman dengan dunia perpolitikan kita—mereka bukanlah orang-orang “baru kemarin sore”. Namun kenyataan bahwa mereka memilih keluar dari partai lamanya dan memutuskan untuk mendirikan partai sendiri, tentunya menyiratkan satu dan lain hal. Barangkali ada konflik kepentingan dalam pecah kongsinya elite-elite politik tersebut. Namun sekadar kepentingan tentu bukan jawabannya. Pastinya ada konflik yang sifatnya lebih “ideologis”, bukan sekadar “pragmatis”. Dengan kata lain, jika kita mau berprasangka baik, bisa jadi keputusan elite untuk keluar dari partai lamanya dan membikin partai baru menyiratkan adanya ketidakpuasan terhadap yang lama dan harapan untuk melakukan perubahan dengan yang baru. Nah, bukankah kebanyakan dari kita juga menyimpan ketidakpuasan dan harapan serupa?
Ketiga, dalam minggu ini keluar setidaknya dua laporan yang mengangkat daftar nama-nama caleg yang sejauh ini “layak” kita pilih, yakni laporan majalah Tempo tentang 11 caleg yang menjadi “harapan di tengah sinisme publik pada partai politik” (demikianlah bunyi anak judul laporan tersebut), dan rilis yang dikeluarkan oleh situs bersih2014.net yang berisi daftar caleg bersih 2014. Dalam kedua publikasi tersebut, nama-nama yang diusung partai baru dapat kita temukan. Dalam laporan Tempo ada nama Taufik Basari dan Nur Amalia, dua advokat yang dikenal luas memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil. Bahkan dalam rilis bersih2014.net, ada 17 nama caleg Nasdem dari 64 caleg bersih versi mereka. Dari daftar tersebut, tentu kita mendapati banyak pula nama-nama caleg dari partai lama seperti PDIP dan Partai Golkar yang juga dikategorikan “bersih” atau “layak Anda pilih”.
Dengan ketiga pertimbangan di atas, tentu tak patut bagi saya dalam tulisan ini mengajak pembaca memilih partai tertentu. Namun yang jadi ajakan saya: janganlah “buru-buru” memilih golput. Pada kenyataannya masih ada alasan bagi kita untuk menyuarakan pilihan di bilik TPS 9 April nanti. Akhirnya, apa pun pilihan Anda, yang penting putuskan dengan pertimbangan rasional.
[sumber foto: kpu.go.id]
Di kala tingkat trust publik kita terhadap partai politik demikian tipis (terbukti dengan meningkatnya angka golput dari pemilu ke pemilu) kemunculan partai baru tentu berpotensi dilirik sebelah mata. “Paling juga sama saja dengan partai-partai yang sudah ada,” barangkali begitulah tanggapan yang akan terlontar dari sebagian di antara kita.
Akan tetapi saya pribadi, meski sering merasa kecewa dengan parpol-parpol di negeri kita dan elite-elitenya, namun tetap merasa tak nyaman dan tak bertanggung jawab jika dengan mudahnya memilih golput. Bolehlah kita memilih untuk tidak memilih. Tapi kalau alasannya karena “tidak mau ambil pusing” atau “putus harapan”, saya pikir tak tepat juga memutuskan demikian. Oleh karena itu, setidaknya dalam tulisan ini, saya berusaha mencari sisa-sisa harapan yang mungkin masih ada agar saya punya cukup motivasi untuk melangkah ke TPS 9 April nanti. Dan saya coba mengais harapan itu dengan mempertimbangkan kemunculan partai baru di pemilu (yang kali ini, kebetulan saja partai itu hanya Nasdem).
Pertimbangan pertama, dalam empat kali pemilu sejak tumbangnya Orde Baru (termasuk Pemilu 2014 ini) kemunculan partai baru bukanlah hal yang asing bagi kita. Bahkan di Pemilu 2004 dan 2009 partai baru yang muncul mencapai puluhan. Dari yang sudah-sudah, meski setelah sekian waktu pasca-pemilu banyak skandal yang menjerat kader-kader partai tersebut, namun partai-partai baru terbukti memberikan warna perubahan pada peta perpolitikan kita. Setidaknya, hadirnya partai baru mampu menyegarkan iklim kompetitif di panggung perpolitikan. Iklim ini penting untuk “memaksa” tiap-tiap partai memperbaiki kinerjanya demi bertahan dalam kompetisi politik tanah air.
Kedua, kendati baru, namun partai-partai yang muncul belakangan biasanya didirikan atau dipimpin oleh orang-orang lama yang sudah berpengalaman dengan dunia perpolitikan kita—mereka bukanlah orang-orang “baru kemarin sore”. Namun kenyataan bahwa mereka memilih keluar dari partai lamanya dan memutuskan untuk mendirikan partai sendiri, tentunya menyiratkan satu dan lain hal. Barangkali ada konflik kepentingan dalam pecah kongsinya elite-elite politik tersebut. Namun sekadar kepentingan tentu bukan jawabannya. Pastinya ada konflik yang sifatnya lebih “ideologis”, bukan sekadar “pragmatis”. Dengan kata lain, jika kita mau berprasangka baik, bisa jadi keputusan elite untuk keluar dari partai lamanya dan membikin partai baru menyiratkan adanya ketidakpuasan terhadap yang lama dan harapan untuk melakukan perubahan dengan yang baru. Nah, bukankah kebanyakan dari kita juga menyimpan ketidakpuasan dan harapan serupa?
Ketiga, dalam minggu ini keluar setidaknya dua laporan yang mengangkat daftar nama-nama caleg yang sejauh ini “layak” kita pilih, yakni laporan majalah Tempo tentang 11 caleg yang menjadi “harapan di tengah sinisme publik pada partai politik” (demikianlah bunyi anak judul laporan tersebut), dan rilis yang dikeluarkan oleh situs bersih2014.net yang berisi daftar caleg bersih 2014. Dalam kedua publikasi tersebut, nama-nama yang diusung partai baru dapat kita temukan. Dalam laporan Tempo ada nama Taufik Basari dan Nur Amalia, dua advokat yang dikenal luas memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil. Bahkan dalam rilis bersih2014.net, ada 17 nama caleg Nasdem dari 64 caleg bersih versi mereka. Dari daftar tersebut, tentu kita mendapati banyak pula nama-nama caleg dari partai lama seperti PDIP dan Partai Golkar yang juga dikategorikan “bersih” atau “layak Anda pilih”.
Dengan ketiga pertimbangan di atas, tentu tak patut bagi saya dalam tulisan ini mengajak pembaca memilih partai tertentu. Namun yang jadi ajakan saya: janganlah “buru-buru” memilih golput. Pada kenyataannya masih ada alasan bagi kita untuk menyuarakan pilihan di bilik TPS 9 April nanti. Akhirnya, apa pun pilihan Anda, yang penting putuskan dengan pertimbangan rasional.
[sumber foto: kpu.go.id]
Sumber: indonesia.tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
PEMILU