pemiluindonesiaku.blogspot.com - Memasuki masa pendaftaran Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR/DPRD pada tanggal 9-22 April 2013 masih terjadi polemik klasik seputar pemenuhan minimal 30 persen kuota perempuan. Parpol bervariasi dalam menanggapi hal ini, ada yang sejak awal sepakat dan siap, ada yang terpaksa sepakat dan segera menyiapkan, serta ada yang keberatan dan kurang siap.
Kuota 30 persen caleg perempuan sebenarnya sudah ada sejak pemilu 2009. Perbedaan mendasar terletak pada sanksi bagi yang tidak memenuhi. Pada pemilu 2009, parpol yang tidak bisa memenuhi hanya akan diumumkan di media massa. Sedangkan pada pemilu 2014 berdasarkan UU No 8 tahun 2012 Pasal 58 dan 59 serta Peraturan KPU Nomor 07 tahun 2013 Pasal 11 dan 24 bagi parpol yang tidak memenuhi kuota caleg perempuan di dapil tertentu hingga tenggat masa perbaikan akan dinyatakan tidak memenuhi syarat atau gugur di dapil itu.
Diskusi pro-kontra terkait keterwakilan perempuan selalu hangat dan tidak pernah berakhir. Kesetaraan gender dan semangat menjamin kepentingan keperempuaan dalam legislasi menjadi landasan utama kelompok pro. Sedangkan yang kontra menganggap hal tersebut tidak harus diatur secara kuantitatif karena dapat terjadi alami, ada juga yang berkaca pada sifat kodrati perempuan yang tidak baik jika dipaksa, serta alasan lainnya. Lepas dari pro kontra tersebut, amanat regulasi mewajibkan keterwakilan perempuan. Parpol mau tidak mau harus menyiapkannya.
Kaderisasi
Permasalahan mendasar parpol salah satunya adalah kaderisasi. Geliat rekruitmen dan pembinaan kader hanya santer terdengar jelang pemilu, khususnya untuk mengisi daftar caleg. Pembukaan pendaftaran caleg di satu sisi menunjukkan iklim keterbukaan parpol, tetapi di sisi lain mengindikasikan kaderisasi yang kurang optimal.
Problematika kaderisasi menyebabkan parpol mengalami kesulitan dalam menyiapkan daftar calegnya. Sistem pemilu dengan suara terbanyak semakin membuat sulit karena kader yang merasa minim modal sosial dan finansialnya menjadi minder. Jika untuk caleg secara umum saja mengalami kesulitan, apalagi untuk caleg perempuan. Belum lagi dengan mencuatnya kasus korupsi anggota DPR perempuan tidak dipungkiri membuat ketakutan tersendiri. Ujung-ujungnya sebagian besar parpol diprediksi akan mendaftarkan caleg perempuan untuk formalitas saja. Hal ini nanti dapat diamati dalam komposisi nomor urut, dimana akan jarang caleg perempuan ditempatkan pada nomor satu atau dua. Meskipun nomor urut sudah tidak sepenuhnya berpengaruh, namun angka kecil masih dipersepsikan publik sebagai caleg yang diproyeksikan jadi.
Strategis dan Strategi
Berdasarkan data Puskapol UI (2012), pada Pemilu 2009 dari 69 persen suara pemilih untuk caleg, sejumlah 22,45 persen atau 26 juta suara diberikan untuk caleg perempuan. Potret keterpilihan perempuan adalah 103 kursi di DPR, 321 kursi di DPRD provinsi, serta 1.857 kursi di DPRD kabupaten/ kota.
Data tersebut sepatutnya menjadi refleksi parpol untuk serius menyiapkan caleg perempuannya. Caleg perempuan memiliki peran strategis dalam ikut andil memenangkan suatu parpol meraih kursi. Kementerian Dalam Negeri RI (2012) melaporkan bahwa 49,13% penduduk Indonesia adalah perempuan, artinya perempuan adalah pasar politik yang potensial. Pencalonan 30 persen caleg perempuan mestinya dimaknai sebagai bagian strategi. Jika selama ini caleg perempuan hanya diposisikan formalitas atau pencari suara, maka pada pemilu mendatang saatnya serius menyiapkan kapasitas dan siap menjadikannya terpilih.
Berbagai pihak dapat mendukung pemenuhan keterwakilan perempuan yang berkualitas. Pertama, parpol penting mengubah pola pikir terkait perempuan dari sekadar menempatkannya “jadi caleg” menjadi “caleg jadi”. Pengubahan ini tentu bukan tindakan emosional semata tetapi membawa konsekuensi pada penyiapan kualitas caleg perempuan untuk siap berkompetisi.
Kedua, KPU dituntut konsisten dan tegas terhadap peraturan. Konsisten untuk tetap mempertahankan peraturan sekarang dan tegas kepada parpol yang tidak bisa memenuhinya. Ketiga, masyarakat dapat aktif merekomendasikan personil perempuan yang layak serta memberikan standar penilaian yang setara dengan penilaian caleg lelaki. Tuntutan masyarakat ini akan memacu parpol menyiapkan perempuan dalam performa terbaiknya. Semoga caleg perempuan yang tampil pada Pemilu 2014 adalah Kartini politik yang berkualitas dan siap untuk terpilih.
Sumber:kompasiana.com - 21 April 2013Kuota 30 persen caleg perempuan sebenarnya sudah ada sejak pemilu 2009. Perbedaan mendasar terletak pada sanksi bagi yang tidak memenuhi. Pada pemilu 2009, parpol yang tidak bisa memenuhi hanya akan diumumkan di media massa. Sedangkan pada pemilu 2014 berdasarkan UU No 8 tahun 2012 Pasal 58 dan 59 serta Peraturan KPU Nomor 07 tahun 2013 Pasal 11 dan 24 bagi parpol yang tidak memenuhi kuota caleg perempuan di dapil tertentu hingga tenggat masa perbaikan akan dinyatakan tidak memenuhi syarat atau gugur di dapil itu.
Diskusi pro-kontra terkait keterwakilan perempuan selalu hangat dan tidak pernah berakhir. Kesetaraan gender dan semangat menjamin kepentingan keperempuaan dalam legislasi menjadi landasan utama kelompok pro. Sedangkan yang kontra menganggap hal tersebut tidak harus diatur secara kuantitatif karena dapat terjadi alami, ada juga yang berkaca pada sifat kodrati perempuan yang tidak baik jika dipaksa, serta alasan lainnya. Lepas dari pro kontra tersebut, amanat regulasi mewajibkan keterwakilan perempuan. Parpol mau tidak mau harus menyiapkannya.
Kaderisasi
Permasalahan mendasar parpol salah satunya adalah kaderisasi. Geliat rekruitmen dan pembinaan kader hanya santer terdengar jelang pemilu, khususnya untuk mengisi daftar caleg. Pembukaan pendaftaran caleg di satu sisi menunjukkan iklim keterbukaan parpol, tetapi di sisi lain mengindikasikan kaderisasi yang kurang optimal.
Problematika kaderisasi menyebabkan parpol mengalami kesulitan dalam menyiapkan daftar calegnya. Sistem pemilu dengan suara terbanyak semakin membuat sulit karena kader yang merasa minim modal sosial dan finansialnya menjadi minder. Jika untuk caleg secara umum saja mengalami kesulitan, apalagi untuk caleg perempuan. Belum lagi dengan mencuatnya kasus korupsi anggota DPR perempuan tidak dipungkiri membuat ketakutan tersendiri. Ujung-ujungnya sebagian besar parpol diprediksi akan mendaftarkan caleg perempuan untuk formalitas saja. Hal ini nanti dapat diamati dalam komposisi nomor urut, dimana akan jarang caleg perempuan ditempatkan pada nomor satu atau dua. Meskipun nomor urut sudah tidak sepenuhnya berpengaruh, namun angka kecil masih dipersepsikan publik sebagai caleg yang diproyeksikan jadi.
Strategis dan Strategi
Berdasarkan data Puskapol UI (2012), pada Pemilu 2009 dari 69 persen suara pemilih untuk caleg, sejumlah 22,45 persen atau 26 juta suara diberikan untuk caleg perempuan. Potret keterpilihan perempuan adalah 103 kursi di DPR, 321 kursi di DPRD provinsi, serta 1.857 kursi di DPRD kabupaten/ kota.
Data tersebut sepatutnya menjadi refleksi parpol untuk serius menyiapkan caleg perempuannya. Caleg perempuan memiliki peran strategis dalam ikut andil memenangkan suatu parpol meraih kursi. Kementerian Dalam Negeri RI (2012) melaporkan bahwa 49,13% penduduk Indonesia adalah perempuan, artinya perempuan adalah pasar politik yang potensial. Pencalonan 30 persen caleg perempuan mestinya dimaknai sebagai bagian strategi. Jika selama ini caleg perempuan hanya diposisikan formalitas atau pencari suara, maka pada pemilu mendatang saatnya serius menyiapkan kapasitas dan siap menjadikannya terpilih.
Berbagai pihak dapat mendukung pemenuhan keterwakilan perempuan yang berkualitas. Pertama, parpol penting mengubah pola pikir terkait perempuan dari sekadar menempatkannya “jadi caleg” menjadi “caleg jadi”. Pengubahan ini tentu bukan tindakan emosional semata tetapi membawa konsekuensi pada penyiapan kualitas caleg perempuan untuk siap berkompetisi.
Kedua, KPU dituntut konsisten dan tegas terhadap peraturan. Konsisten untuk tetap mempertahankan peraturan sekarang dan tegas kepada parpol yang tidak bisa memenuhinya. Ketiga, masyarakat dapat aktif merekomendasikan personil perempuan yang layak serta memberikan standar penilaian yang setara dengan penilaian caleg lelaki. Tuntutan masyarakat ini akan memacu parpol menyiapkan perempuan dalam performa terbaiknya. Semoga caleg perempuan yang tampil pada Pemilu 2014 adalah Kartini politik yang berkualitas dan siap untuk terpilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
PEMILU