Hasil Quick Count Pilpres 2014. Prabowo Hatta VS Jokowi-JK. Populi Center 49.05% :50.95%. CSIS 48.10% :51.90%. Litbang Kompas 47.66% :52.33%. IPI 47.05% :52.95%. LSI 46.43% :53.37%. RRI 47.32% :52.68%. SMRC 47.09% :52.91%. Puskaptis 52.05% :47.95%. IRC 51.11% :48.89%. LSN 50.56% :49.94%. JSI 50.13% :49.87% .

KABINET KERJA

Selasa, 01 September 2015

Jajak Pendapat "Kompas"Publik dan Pilkada

pemiluindonesiaku.blogspot.com - Pemilihan kepala daerah yang akan dilakukan secara serentak 9 Desember nanti akan menguji kemampuan daerah untuk menyerap esensi demokrasi. Sejauh ini, dengan berbagai kekurangannya, pilkada dinilai telah memberi harapan tumbuhnya iklim demokrasi yang sejuk di daerah.

Dalam waktu tiga bulan ke depan, 250-an pemerintahan daerah se-Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung secara serentak.

Aspek keserentakan dalam hajatan demokrasi ini, akan memberi citra positif bahwa rakyat di negeri ini mampu menjalankan prosedur demokrasi tanpa masalah berarti.

Berkaca dari pilkada sebelumnya, salah satu impian yang mulai terwujud adalah munculnya beberapa kepala daerah yang mengubah cara kerja birokrasi yang lamban, memperbaiki fasilitas umum yang terbengkalai, dan menata kehidupan publik yang nyaman. Aspek-aspek itu merupakan bagian dari pelayanan publik yang bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat.

Enam dari 10 responden (63,4 persen) menyatakan puas terhadap kinerja pemerintah daerah dalam layanan publik (pendidikan, kesehatan, perizinan). Responden yang berada di kota di Pulau Jawa dan luar Jawa sama-sama memberi penilaian positif terkait hal tersebut. Peringkat proporsi responden yang menyatakan puas terhadap pelayanan publik pemda (dari yang tertinggi) adalah Surabaya, Palembang, Denpasar, Banjarmasin, Yogyakarta, Semarang, dan DKI Jakarta. Proporsi kepuasan mencapai 78 persen hingga 62 persen.

Berbeda dengan capaian layanan publik yang dinilai membaik, aspek pembangunan ekonomi dinilai masih kurang memuaskan meski dengan jawaban bervariasi. Responden di Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Pontianak tampak cukup optimistis dengan pertumbuhan perekonomian daerah.

Adapun soal pemberantasan kemiskinan dan penegakan hukum dinilai belum memuaskan mayoritas publik di semua kota.

Demokratis

Sebagai sebuah kekuatan perubahan sosial, daya tarik pilkada juga tampak dari pandangan umum bahwa pilkada, terlepas dari berbagai kekurangan, sudah dilaksanakan dengan demokratis. Demokratis di sini diartikan bahwa proses pemilihan dilakukan secara bersih, adil, dan jujur. Ini setidaknya diungkapkan oleh 61,4 persen responden ketika diminta menilai pelaksanaan pilkada di daerah masing-masing, sedangkan 29,2 persen menyatakan sebaliknya.

Isu politik uang yang kerap muncul dalam setiap pilkada juga diakui tetap ada, tetapi tak dominan. Sekitar seperlima bagian publik mengatakan tahu adanya pembagian uang, bahan pokok, dan hadiah sebagai imbalan pemberian suara kepada pasangan tertentu. Proporsi publik yang menjawab demikian merata di 12 kota domisili responden meski proporsi daerah di luar Jawa sedikit lebih tinggi ketimbang di kota-kota di Jawa.

Pencapaian lain dari esensi demokrasi dalam pilkada ialah besarnya minat publik untuk berpartisipasi. Setidaknya, delapan dari setiap 10 responden (84,2 persen) mengatakan akan menggunakan hak pilih jika ada pilkada di daerahnya. Meski demikian, data nasional rata-rata tingkat partisipasi pilkada di daerah biasanya menunjukkan angka di bawah itu.

Penyelenggaraan pilkada memang masih jauh dari idealisme demokrasi substantif. Meski demikian, pilkada langsung telah membuka peluang alternatif yang terbukti memberi sejumlah kemajuan dalam iklim politik daerah sekaligus pembangunan kesejahteraan. Rakyat memilih pemimpin mereka sendiri dengan harapan lahir sosok yang berkualitas sekaligus aspiratif yang bisa membawa perbaikan untuk daerahnya. Namun, bagaimanakah mereka memilihnya?

Pilkada serentak kali ini kembali menguji kemampuan masyarakat untuk memilih kepala daerah mereka secara demokratis. Salah satu indikatornya adalah penyikapan publik dalam memilih dibandingkan dengan latar belakang primordial mereka. Hasilnya menunjukkan, publik cenderung menunjukkan keterbukaan sikap dalam memilih calon kepala daerah, terlepas dari unsur primordialisme.

Sebanyak 79,7 persen responden mengatakan, memilih pemimpin dengan latar belakang sesama putra daerah tidak menjadi keharusan. Dari segi asal-usul partai, 83,9 persen responden menyatakan tak harus sama dengan partai yang dipilih dalam pemilu. Demikian pula dalam soal agama dan jender, lebih banyak responden yang menyatakan agama dan jender calon tak harus sama dengan mereka.

Kondisi demikian menyiratkan kecenderungan pemilih yang lebih menitikberatkan pertimbangan rasional dalam menentukan pemimpin daerahnya. Namun, sebanyak dua dari tiga responden menuturkan belum memiliki gambaran yang jelas tentang sosok calon kepala daerah yang sesuai harapan mereka. Ini sesuai dengan kondisi saat ini ketika para calon yang akan bertarung belum mengampanyekan diri secara optimal.

Preferensi publik atas calon sangat mungkin berubah jika tahap sosialisasi program-program nantinya digencarkan para calon kepala daerah. Artinya, bisa saja aspek rasional mengecil dan aspek primordial membesar.

Demikian pula soal elektabilitas petahana. Preferensi responden terhadap calon petahana ternyata tidak terlalu besar dalam jajak ini. Berbeda dengan perkiraan kuatnya posisi petahana, hanya sepertiga bagian responden (31,1 persen) yang menjawab akan memilih kepala daerah mereka yang mencalonkan diri kembali pada Pilkada 2015. Sepertiga bagian responden lain memilih calon kepala daerah yang baru dan sepertiga lagi belum menentukan pilihan.

Dalam soal preferensi memilih petahana, hanya Kota Surabaya yang tampaknya tetap memikat publik. Di kota ini, mayoritas responden (56,8 persen) menjawab akan memilih petahana saat ini, sedangkan di kota-kota lain preferensi publik bagi petahana berada di kisaran seperlima hingga sepertiga bagian responden.


Fenomena lain dari pilkada serentak kali ini ialah menyusutnya jumlah calon perseorangan. Ini tampaknya terkait dengan semakin beratnya syarat dukungan (yang dibuktikan dengan melampirkan fotokopi kartu identitas penduduk) untuk calon perseorangan. Proporsinya mengikuti jumlah penduduk. Dibandingkan dengan pilkada sebelumnya, ketentuan syarat dukungan calon perseorangan naik dua kali lipat, yaitu dari minimal 3,5 persen dalam pilkada sebelumnya menjadi 6,5 persen dari jumlah penduduk. Ketentuan itu termuat dalam UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Boleh jadi saat ini belum muncul prestasi menonjol kepala daerah dari jalur perseorangan dalam memimpin daerah. Meski demikian, perhatian publik terhadap kehadiran calon perseorangan relatif besar. Sebagian publik tetap membuka peluang untuk memilih mereka karena yakin secara kualitas kemampuan calon perseorangan lebih baik ketimbang calon dari parpol.

Khawatir konflik

Terkait rencana penyelenggaraan pilkada serentak, mayoritas responden mengatakan telah mengetahui momen ini dari pemberitaan media massa dan media-media lain. Sejumlah kekhawatiran pun muncul. Politik uang dan konflik antar-pendukung menjadi kekhawatiran utama responden. Gesekan yang terjadi sebelum atau sesudah pilkada berpotensi destruktif karena besarnya skala pilkada kali ini melibatkan lebih dari 250 daerah.

Meskipun demikian, proporsi publik yang khawatir sedikit lebih rendah daripada yang tak khawatir. Demikian pula tingkat keyakinan publik bahwa pilkada akan membawa perubahan yang lebih baik bagi kondisi daerah masih lebih dominan daripada yang tak yakin.

Ini berarti modal sosial dan politik pilkada masih cukup besar untuk melangsungkan hajatan mekanisme demokrasi langsung di Indonesia. (Toto Suryaningyas/LITBANG KOMPAS)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 5 dengan judul "Jajak Pendapat "Kompas"Publik dan Pilkada".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMILU