pemiluindonesiaku.blogspot.com - Sejak pemilihan presiden diselenggarakan secara langsung, survei-survei politik semakin dipandang sedemikian penting.
Tidak dapat dimungkiri, metode survei merupakan cara ampuh untuk melihat kecenderungan politik populer yang berkembang. Kita masih ingat, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla pada Pilpres 2004 sudah dapat dicandra oleh hasil-hasil survei. Pada Pilpres 2009 dan menjelang Pilpres 2014, lembaga survei sudah sedemikian hiruk-pikuk beraktivitas dalam menelisik derajat popularitas dan elektabilitas para tokoh bakal calon presiden (capres).
Dalam demokrasi langsung, popularitas tokoh politik penting. Wajar, manakala politisi, sebagaimana artis, butuh terkenal dan dukungan publik luas. Maka, idealnya politisi harus hadir dan aktual. Kalau tidak, mereka akan tenggelam. Barangkali memang demikian adanya: politisi dituntut untuk profesional dalam merespons banyak hal, tetapi tetap dibarengi dengan kecanggihan merawat basis dukungan. Ibarat kontes penyanyi idola, politisi tidak hanya dituntut punya suara yang merdu, tetapi juga meraup dukungan terbanyak. Media massa, pengamat politik, dan komentar publik di ranah sosial media ibarat juri komentatornya.
Kontes idola
Tidak dapat dimungkiri, metode survei merupakan cara ampuh untuk melihat kecenderungan politik populer yang berkembang. Kita masih ingat, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla pada Pilpres 2004 sudah dapat dicandra oleh hasil-hasil survei. Pada Pilpres 2009 dan menjelang Pilpres 2014, lembaga survei sudah sedemikian hiruk-pikuk beraktivitas dalam menelisik derajat popularitas dan elektabilitas para tokoh bakal calon presiden (capres).
Dalam demokrasi langsung, popularitas tokoh politik penting. Wajar, manakala politisi, sebagaimana artis, butuh terkenal dan dukungan publik luas. Maka, idealnya politisi harus hadir dan aktual. Kalau tidak, mereka akan tenggelam. Barangkali memang demikian adanya: politisi dituntut untuk profesional dalam merespons banyak hal, tetapi tetap dibarengi dengan kecanggihan merawat basis dukungan. Ibarat kontes penyanyi idola, politisi tidak hanya dituntut punya suara yang merdu, tetapi juga meraup dukungan terbanyak. Media massa, pengamat politik, dan komentar publik di ranah sosial media ibarat juri komentatornya.
Kontes idola
Idolisasi politik semacam itu tak dapat dinafikan. Tokoh bukan parpol.
Ia sering kali jadi dua entitas berbeda. Tokoh bisa lebih populer
ketimbang parpol, bahkan tokoh bisa melejitkan popularitas parpol.
Namun, dalam sebuah sistem politik yang ditandai kokohnya kelembagaan
parpol, mestinya tokoh yang dibesarkan dan dilejitkan popularitasnya
oleh parpol. Terkadang, dalam beberapa kasus, tokoh parpol bukanlah
politisi berpengalaman sehingga tak merasa perlu memperkokoh institusi
partai. Ketika partai direbut kekuasaannya dari elite terdahulu, elite
sentralnya langsung mencapreskan diri. Tentu ini sah-sah saja, tetapi ia
segera berhadapan dengan hukum kontes idol politik.
Parpol masih sangat istimewa dalam sistem politik Indonesia dewasa ini, terlebih ditilik dari tata cara pilpresnya. Semua kandidat harus melalui parpol. Konstitusi tak memungkinkan majunya kandidat independen atau nonparpol. Mahkamah Konstitusi telah menutup pintu bagi kemungkinan itu, kecuali konstitusinya diubah. Namun, selama parpol tak sungguh-sungguh berniat mengamendemen kembali konstitusi, kontes bakal capres akan sangat bergantung pada mereka. Padahal, tidak semua parpol mau menggelar konvensi.
Begitu jalan konvensi dipilih, arena kontestasi meluas, merambah ke peserta-peserta di luar parpol. Konvensi bisa jadi semacam pilpres mini. Belum tentu capres hasil konvensi memenangi pilpres, tetapi punya efek melejitkan popularitas parpol yang menyelenggarakannya.
Pilpres mini dan pilpres sebenarnya punya semangat yang sama meski logikanya berbeda. Capres konvensi bisa kuat elektabilitasnya, bisa juga tidak. Kontestasi politik selalu mempertimbangkan perbandingan. Kerap daya popularitas dan elektabilitas para capres berimpitan. Adakalanya pula satu sama lain tak seimbang. Hasil-hasil survei biasanya menuntut rasio publik.
Mencari pemimpin
Dalam situasi seperti sekarang, kita diingatkan oleh pendapat Al Gore di atas. Mestinya, pilpres tak sekadar perlombaan kepopuleran tokoh. Kita tentu akan tergoda untuk membuat kalimat, seperti, kepopuleran tokoh belum tentu mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Khalayak ramai bisa jadi suka kepada tokoh tertentu, bukan karena kualifikasi kepemimpinannya, melainkan karena faktor lain.
Harus diakui, mengukur kualitas kepemimpinan tokoh bagi publik cukup sulit. Popularitas tokoh baru biasanya dinilai sekadar antitesis tokoh lama. Dalam konteks inilah, publik tak sepenuhnya bisa memiliki daya obyektivikasi yang cukup untuk memilih pemimpin. Nah, perspektif Al Gore di atas lebih menuntut tanggung jawab pemasok kepemimpinan, yang dalam hal ini terutama parpol-parpol.
Dalam perspektif Al Gore, kalau yang diyakini adalah capres bermutu, hasil survei tidak didewa-dewakan. Dengan kata lain, hasil survei bukan satu-satunya. Bagi parpol yang kuat kelembagaannya dan punya pola pikir kekuasaan yang jernih, kontes kepresidenan bukan segala-galanya. Parpol yang seperti ini tidak ingin menang asal-asalan. Bahkan, lebih baik jadi oposisi yang terhormat dan kuat ketimbang punya presiden yang hadir tanpa mempertimbangkan kualifikasi kepemimpinan yang diyakini mampu menjawab tantangan. Kesadaran dan pola pikir demikian barangkali terlalu ideal di era pragmatis dewasa ini. Tetapi, jelas, untuk kebutuhan jangka panjang, parpol harus serius memperkuat kelembagaannya. Kalau itu terjadi, kita yakin bahwa mereka akan jadi pemasok para pemimpin bangsa yang lebih bermutu di kemudian hari.
M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional
Parpol masih sangat istimewa dalam sistem politik Indonesia dewasa ini, terlebih ditilik dari tata cara pilpresnya. Semua kandidat harus melalui parpol. Konstitusi tak memungkinkan majunya kandidat independen atau nonparpol. Mahkamah Konstitusi telah menutup pintu bagi kemungkinan itu, kecuali konstitusinya diubah. Namun, selama parpol tak sungguh-sungguh berniat mengamendemen kembali konstitusi, kontes bakal capres akan sangat bergantung pada mereka. Padahal, tidak semua parpol mau menggelar konvensi.
Begitu jalan konvensi dipilih, arena kontestasi meluas, merambah ke peserta-peserta di luar parpol. Konvensi bisa jadi semacam pilpres mini. Belum tentu capres hasil konvensi memenangi pilpres, tetapi punya efek melejitkan popularitas parpol yang menyelenggarakannya.
Pilpres mini dan pilpres sebenarnya punya semangat yang sama meski logikanya berbeda. Capres konvensi bisa kuat elektabilitasnya, bisa juga tidak. Kontestasi politik selalu mempertimbangkan perbandingan. Kerap daya popularitas dan elektabilitas para capres berimpitan. Adakalanya pula satu sama lain tak seimbang. Hasil-hasil survei biasanya menuntut rasio publik.
Mencari pemimpin
Dalam situasi seperti sekarang, kita diingatkan oleh pendapat Al Gore di atas. Mestinya, pilpres tak sekadar perlombaan kepopuleran tokoh. Kita tentu akan tergoda untuk membuat kalimat, seperti, kepopuleran tokoh belum tentu mencerminkan kualitas kepemimpinannya. Khalayak ramai bisa jadi suka kepada tokoh tertentu, bukan karena kualifikasi kepemimpinannya, melainkan karena faktor lain.
Harus diakui, mengukur kualitas kepemimpinan tokoh bagi publik cukup sulit. Popularitas tokoh baru biasanya dinilai sekadar antitesis tokoh lama. Dalam konteks inilah, publik tak sepenuhnya bisa memiliki daya obyektivikasi yang cukup untuk memilih pemimpin. Nah, perspektif Al Gore di atas lebih menuntut tanggung jawab pemasok kepemimpinan, yang dalam hal ini terutama parpol-parpol.
Dalam perspektif Al Gore, kalau yang diyakini adalah capres bermutu, hasil survei tidak didewa-dewakan. Dengan kata lain, hasil survei bukan satu-satunya. Bagi parpol yang kuat kelembagaannya dan punya pola pikir kekuasaan yang jernih, kontes kepresidenan bukan segala-galanya. Parpol yang seperti ini tidak ingin menang asal-asalan. Bahkan, lebih baik jadi oposisi yang terhormat dan kuat ketimbang punya presiden yang hadir tanpa mempertimbangkan kualifikasi kepemimpinan yang diyakini mampu menjawab tantangan. Kesadaran dan pola pikir demikian barangkali terlalu ideal di era pragmatis dewasa ini. Tetapi, jelas, untuk kebutuhan jangka panjang, parpol harus serius memperkuat kelembagaannya. Kalau itu terjadi, kita yakin bahwa mereka akan jadi pemasok para pemimpin bangsa yang lebih bermutu di kemudian hari.
M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional
Sumber: nasional.kompas.com - Selasa,17-09-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
PEMILU