Hasil Quick Count Pilpres 2014. Prabowo Hatta VS Jokowi-JK. Populi Center 49.05% :50.95%. CSIS 48.10% :51.90%. Litbang Kompas 47.66% :52.33%. IPI 47.05% :52.95%. LSI 46.43% :53.37%. RRI 47.32% :52.68%. SMRC 47.09% :52.91%. Puskaptis 52.05% :47.95%. IRC 51.11% :48.89%. LSN 50.56% :49.94%. JSI 50.13% :49.87% .

KABINET KERJA

Kamis, 07 Maret 2013

Dinasti Politik

Dinasti Politik Lokal Semakin Meluas
Larangan kekerabatan dalam pencalonan kepala daerah diperlukan untuk menjaga semangat reformasi. Kekerabatan tumbuh di balik prosedur pemilihan kepala daerah langsung. Saat ini teridentifikasi ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik lokal.

”Pemerintah mendukung kalau DPR sepakat bahwa larangan kekerabatan dalam pilkada diperluas dalam satu provinsi. Faktanya, hal seperti itu terjadi di banyak daerah,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan di Jakarta, Selasa (5/3).

Sebagian politik dinasti tampak pada suksesi langsung. Suami, istri, anak, ayah, kakak, saudara ipar diajukan menggantikan kepala daerah petahana. Namun, banyak pula suksesi tidak langsung di daerah itu juga, tetapi di daerah lain dalam satu provinsi.

Contoh paling menonjol adalah kekerabatan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Dia adalah kakak kandung Wakil Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, kakak tiri Wali Kota Serang Tb Haerul Jaman, kakak ipar Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Heryani.

Ichsan Yasin Limpo yang kini Bupati Gowa adalah adik Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Di Sulawesi Utara, ada Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang yang putra Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang. Wali Kota Padang Sidempuan Andar Amin Harahap adalah anak Bupati Padang Lawas Bachrum Harahap. Kendati Zulkifli Nurdin sudah tidak menjabat Gubernur Jambi, putranya, Zumi Zola, kini jadi Bupati Tanjung Jabung Timur.

Politik kekerabatan ini menunjukkan akar feodalisme dan tradisi monarki di Indonesia belum sepenuhnya berubah. Bukan meritokrasi yang melandasi pilkada, melainkan nepotisme dan kolusi yang berusaha dirobohkan dalam Reformasi 1998.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun menyetujui usulan DPR bahwa larangan politik dinasti diperluas. ”Kalau DPR sepakat, pemerintah setuju saja. Tapi, ini hanya untuk lingkup setiap provinsi. Kalau lingkup nasional, diatur dalam perundang-undangan lain,” tuturnya.

Akses kekuasaan

Ditambahkan, larangan ini tidak melanggar hak asasi orang perorang untuk mencalonkan diri dalam pilkada jika dihadapkan pada hak asasi orang banyak. Politik dinasti mengesankan akses kekuasaan hanya ada pada segelintir kalangan.

Sementara itu, anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Komisi II DPR, A Malik Haramain, mengemukakan, pembatasan kerabat kepala daerah itu baik untuk membangun politik yang adil. Politikus PKB itu menjelaskan, esensi demokrasi adalah persaingan yang adil.

Menurut pemimpin Panja RUU Pilkada Agun Gunanjar Sudarsa, semua kluster materi dalam RUU Pilkada sudah dibahas. Saat ini, pemerintah diminta menyusun ulang pandangan pemerintah serta fraksi-fraksi.

Meski didasari niat baik, pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin mengatakan, pengaturan politik dinasti rawan digugat. Hak konstitusional warga negara tidak bisa dibatasi. Yang mesti dilakukan negara adalah mencegah seseorang menyalahgunakan kekuasaan untuk menguntungkan kerabatnya, bukan sekadar mencantumkan larangan yang menghilangkan hak konstitusional warga negara.
Sumber: kompas.com - Rabu, 6 Maret 2013

Mengokohkan Dinasti Politik
Pengalaman lebih dari 30 tahun silam tak pernah dilupakan Haris Hody, kini Direktur Utama Perusahaan Daerah Sulawesi Selatan. Selepas shalat Jumat di Jalan Mappanyukki, ia sesekali mampir makan siang di rumah Ichsan Yasin Limpo di Jalan Haji Bau, Kota Makassar. Keduanya adalah teman sepermainan, ayah mereka pun sama-sama tentara.

Siang seperti itu keluarga Yasin Limpo biasa berkumpul. Sang ayah, Muh Yasin Limpo yang biasa dipanggil Teta, menjadi poros pertemuan. ”Di situ nilai nasionalisme, karakter kepemimpinan, ditanamkan oleh Teta kepada anak-anaknya. Ya mirip-mirip pendidikan politiklah,” kenang Haris pada suatu petang di kawasan Losari, Makassar, pertengahan Juni lalu.

Ketika kemudian usia makin dewasa, tatkala keturunan Yasin Limpo cemerlang berkiprah di dunia politik dan birokrasi, Haris memahami. Kebiasaan seperti itulah yang kemudian membentuk keluarga Yasin Limpo menjadi seperti saat ini.

Syahrul, anak kedua, menjabat Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan. Anak pertama, Tenri Olle, menjadi anggota DPRD Provinsi Sulsel. Ichsan menjadi Bupati Gowa, jabatan yang juga pernah diemban ayahnya dan Syahrul. Haris menjadi anggota DPRD Kota Makassar. Irman menjadi Kepala Dinas Industri dan Perdagangan Provinsi Sulsel. Sementara, meski mayoritas keluarganya di Partai Golkar, pada Pemilu 2009 Dewie menjadi calon anggota DPR dari Partai Hati Nurani Rakyat.

Bahkan, kini generasi berikutnya mulai mentas di panggung politik. Anak Syahrul, Indira Thita Chunda, menjadi anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN). Anak Ichsan, Adnan Purichta, menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan dari Partai Demokrat.

Menanggapi persebaran keluarganya di pentas politik itu, Syahrul membantah bahwa hal itu adalah arena fasilitas tertentu dari dia atau partai politik. Mereka memiliki talenta untuk berpihak kepada rakyat. Mereka menjadi caleg bukan karena anak-cucu Yasin Limpo (Kompas, 21 Oktober 2009).

Dikedepankan

Tidak ada yang salah jika dinasti politik terbentuk secara alamiah, rasional, merujuk pada kompetensi. Di negara-negara demokrasi maju pun telah tercatat keluarga yang punya sejarah panjang dalam dunia politik mereka.

Namun, yang menjadi soal adalah jika faktor keluarga itulah yang semata-mata dikedepankan. Kompetensi personal seolah tak cukup untuk dijadikan modal politik.

Praktiknya, seorang calon harus mempunyai cantelan kekerabatan, garis keturunan dari tokoh-tokoh yang telah dikenal. Praktik jamak, kalau perlu seseorang harus menelusuri silsilahnya, untuk mendapatkan pertalian darah dengan tokoh yang telah dikenal di masa lalu. Faktor lain, para bangsawan diuntungkan karena akses mereka yang lebih luas, termasuk kesempatan memperoleh pendidikan yang bisa dijadikan modal dalam kontestasi.

”Kalau dilihat dari daftar wisuda, kebanyakan lulusan itu merupakan generasi kedua, atau bahkan pertama, yang menjadi sarjana dalam keluarganya,” cerita budayawan dari Universitas Hasanuddin, Alwy Rachman.

Mengenali sejarah seseorang memang lebih gampang dengan menilik nama keluarga di belakang namanya. Tak hanya Yasin Limpo, banyak pejabat di Sulsel yang memiliki akar kekerabatan yang jelas dengan pejabat sebelumnya. Ilham Arif Sirajuddin, kini Wali Kota Makassar dan kandidat gubernur, adalah anak mantan Bupati Gowa. Wakil Gubernur Agus Arifin Nu’mang, ayahnya pernah lama menjadi Bupati Sidenreng Rappang. Anak sejumlah kepala daerah di Sulsel pun bersiap-siap meneruskan posisi ayahnya. Pemilu secara langsung bisa menjadi jalan untuk mengokohkan ”kebangsawanan” seseorang.

Mengutip Muhtar Haboddin, kemenangan golongan bangsawan dalam pilkada menjadi pemicu terjadinya ledakan partisipasi golongan bangsawan dalam pilkada. Dari sembilan kabupaten yang dimenangi golongan bangsawan, sebanyak 74 calon bupati dan wakil bupati dan 30 di antaranya berlatar belakang golongan bangsawan.Bahkan, di daerah yang masih kental semangat kebangsawanannya pun, seperti Kabupaten Bone, Wajo, Jeneponto, dan Soppeng, para bangsawan mendominasi bursa bupati dan wakil bupati. Dominasi bangsawan di empat kabupaten ini bisa dimaknai trah bangsawan tetap eksis dalam panggung politik lokal. Mereka adalah figur-figur yang bisa memanfaatkan dan menguasai proses politik desentralisasi dan liberalisasi politik.

Sidik Pramono dan Aswin Rizal Harahap
Sumber: kompas.com - Jumat, 10 Agustus 2012

Dinasti Politik Kian Menguat
Prospek dan dinamika politik tahun 2011 diperkirakan diwarnai oligarki dan dinasti politik yang semakin menguat dan semakin banyak. Pada tahun 2010 saja oligarki dan monarki politik di lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD, sekitar 40 persen.

Hal itu disampaikan peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, dalam acara Proyeksi Politik dan Ekonomi 2011, Selasa (11/1) di Jakarta. Selain Kristiadi, hadir sebagai pembicara adalah peneliti politik CSIS Nico Harjanto dan peneliti ekonomi CSIS Deni Friawan.

”Dinasti politik akan semakin menguat. Anggota DPRD atau DPD akan diisi oleh orang-orang yang masih muda. Dan, kalau ditelusuri, mereka adalah anak atau kerabat dari pejabat seperti gubernur atau bupati/wali kota. Oligarki juga akan semakin kuat karena orang yang mempunyai akses kekuasaan itulah yang akan mempunyai kekuasaan,” kata Kristiadi.

Jaringan kekerabatan

Menurut Kristiadi, petahana (incumbent) mendominasi jaringan kekerabatan dalam pilkada 2010. ”Fenomena ini akan mengakibatkan demokrasi kehilangan rohnya karena kompetisi medan pertarungan yang tidak adil. Mereka yang mempunyai modal dari kekuasaan yang diperoleh dengan politik uang memiliki akses kepada kekuasaan dan memiliki peluang lebih besar untuk menang,” jelas dia.

Akibatnya, lanjut Kristiadi, kepentingan kekuasaan menjadi agenda penting dan utama serta intensitas politik transaksional akan semakin menguat sejalan dengan semakin dekatnya Pemilu 2014. Elite politik, kata Kristiadi, akan disibukkan dengan reposisi mencari aliansi politik baru dalam rangka menyusun kepentingan kekuasaan mereka.

”Pemerintahan akan semakin lunglai karena tersandera oleh kepentingan kekuasaan. Dikhawatirkan proses penyusunan regulasi politik pada tahun 2011 hanya akan menjadi medan pertarungan kepentingan parpol berebut kekuasaan. Dengan demikian, dalam jangka waktu yang tidak lama dapat dipastikan rakyat semakin tidak percaya demokrasi,” ungkap dia.

Sementara itu, Nico Harjanto mengatakan, setelah melontarkan isu calon presiden 2014 yang sempat membuat kebisingan politik, Partai Demokrat sebagai partai penguasa tampaknya ingin lebih aktif mengelola dinamika politik pada tahun 2011.

”Mereka tidak ingin menjadi paria politik seperti tahun lalu ketika dihajar oleh sekutu-sekutunya sendiri di koalisi dalam kasus Bank Century. Untuk itu, akan banyak berbagai isu lain yang keluar tahun ini. Mereka ingin menjadi pihak yang aktif melempar bola, tidak defensif atau reaktif lagi,” kata Nico.Menurut dia, dalam revisi UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Partai Demokrat akan memanfaatkan posisinya sebagai veto player untuk mengarahkan pembahasan yang sesuai dengan kepentingan elektoralnya sebagai partai penguasa besar. ”Undang-Undang Pemilu sangat penting karena dari situlah semua kompetisi politik dan seleksi politisi didasarkan pada pasal-pasalnya,” ujarnya.
Sumber: kompas.com - Rabu, 12 Januari 2011


Politik Dinasti Merajalela di Negeri Demokrasi

Indonesia negara yang demokrasi? Aku rasa belum… Kenyataannya masih banyak dijumpai kasus-kasus yang mencederai nilai demokrasi di negeri ini. Apa saja kasus-kasus itu? Entahlah… Saking banyaknya, sampai sulit menyebutkannya satu persatu. Tapi agar tidak penasaran, aku kasih tahu satu kasus lah… Dari sekian banyak kasus yang mencederai nilai demokrasi di negeri ini, pikiranku tertuju pada satu kasus yang sebenarnya dekat sekali dengan kehidupan kita, namun kita sendiri kurang bisa merespon.

“Politik Dinasti” itulah kasus yang aku maksud. Percaya atau tidak ternyata politik dinasti tumbuh subur di negeri demokrasi seperti Indonesia. Bagaimana tidak, seolah lumrah bila kini kita menyaksikan seorang gubernur memiliki anak atau adik yang menjadi bupati atau wali kota. Juga seolah sah-sah saja bila seorang bupati atau wali kota menjabat pada periode tertentu kemudian istrinya menduduki posisi yang sama pada periode berikutnya.

Alhasil, sepertinya tidak heran jika kini kita menyaksikan suami, istri, anak, atau kerabat dalam satu keluarga menguasai posisi kepala daerah.

Itulah politik dinasti yang kian fenomenal. Meski selalu mengatasnamakan demokrasi karena lahir di era yang relatif lebih demokratis, boleh dibilang para pelaku politik dinasti sebenarnya adalah penumpang gelap yang kemudian membajak demokrasi.

Mereka dan keluarga merasa berhak dipilih menjadi kepala daerah, tetapi pada saat yang sama mereka sesungguhnya mengurangi, bahkan merampas hak politik dan kesempatan orang lain untuk dipilih.
Dengan pengaruh keluarga yang sedang menjabat kepala daerah, pastinya kompetisi dalam pemilu kada pun menjadi tidak sehat. Itu artinya politik dinasti hanya membuat demokrasi sakit, yang lama-kelamaan sekarat, dan akhirnya mati karena kembali ke zaman kerajaan.
Itulah sebabnya pelakon politik dinasti disebut penumpang gelap yang membajak demokrasi. Mereka membajak demokrasi untuk menumpuk kekuasaan dan mewariskannya kepada keluarga. Dengan kekuasaan itu, mereka pun memupuk dan menumpuk kekayaan.

Ketika kekuasaan dan kekayaan terpusat pada satu keluarga, tibalah saatnya demokrasi menemui ajalnya. Bukankah demokrasi semestinya menghasilkan penyalur kekuasaan politik dan ekonomi yang adil?
Nah… maka dari itu, kita seharusnya menyokong penuh ikhtiar politik pemerintah untuk mengakhiri dominasi politik dinasti melalui Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah karena RUU itu sangat demokratis. Mengapa demokratis? karena RUU itu hendak memberi hak politik lebih luas dan adil kepada lebih banyak warga negara untuk dipilih dalam pemilu kada.

Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal jika ada orang yang mengatakan RUU Pemilihan Kepala Daerah melanggar demokrasi dan menyandera hak politik warga negara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMILU