pemiluindonesiaku.blogspot.com - Hampir setiap hari publik disuguhi pemberitaan hasil survei. Survei
tersebut tentu terkait pemilihan umum presiden dan wakil presiden
(pilpres) 9 Juli 2014. Perhelatan mencari orang nomor satu dan dua di
republik ini masih cukup lama, tapi tidak bagi lembaga-lembaga survei.
Genderang survei justru sudah ditabuh dari sekarang. Bagaimana pandangan
mengenai hasil survei bagi pemilih? Apakah survei merupakan pesanan
salah satu capres untuk mengintip elektabilitas capres lawan? Wartawan
SP Carlos KY Paath menganalisisnya dalam tulisan berikut.
Berbicara survei pilpres, langsung terlintas di pikiran mengenai elektabilitas pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Diketahui, survei merupakan penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Tujuannya, tentu untuk mengetahui preferensi pemilih.
Lembaga survei Indonesia kian menjamur, tak terhitung jumlahnya. Terkadang, hasil survei kerap membingungkan pemilih. Sebab, hasilnya dapat berbeda-beda. Bahkan, muncul tudingan bahwa lembaga survei dibayar oleh pihak tertentu yang berkepentingan dalam pilpres. Masyarakat sendiri diharapkan tetap bijak dan tidak terpengaruh terhadap hasil survei.
Dalam beberapa hari terakhir ini, sejumlah lembaga survei merilis hasil survei mereka terkait elektabilitas pasangan caprescawapres. Sebagian besar hasil itu menempatkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) di peringkat satu. Jokowi-JK mengungguli pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network menyebutkan Jokowi-JK unggul 35,43% dibandingkan Prabowo-Hatta 22,75%. Sementara itu, Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) merilis elektabilitas Jokowi-JK 42,65% dan Prabowo-Hatta 28,35%. Pasangan PrabowoHatta unggul di hasil Survei dan Polling Indonesia (Spin) dengan 44,90% dan Jokowi-JK 40,10%.
Hal menarik dari hasil-hasil survei itu, jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) masih cukup tinggi. Undecided voters berada di angka 30% hingga 40%.
Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) Fadjroel Rachman berpendapat, publik harus memahami mekanisme kerja lembaga survei, sebelum melakukan kritik. Menurut dia, kerap terdapat pemahaman yang tak utuh jika sekadar menuduh sebuah survei bayaran.
Dia menjelaskan, acuan utama dan terpenting bagi publik dalam menyikapi hasil survei adalah metodologi. Metodologi merupakan alat objektif untuk melaksanakan survei. Sepanjang metodologi dipatuhi, maka pihak mana pun pendana survei takkan bisa memengaruhi hasil.
“Semua lembaga survei, entah yang dibayar atau tidak, tak bisa memengaruhi metodologi yang bersifat objektif. Sepanjang dipatuhi metodologinya, itu tidak ada kaitannya dengan pendana. Apalagi, kalau seperti lembaga kami, yang pendanaan surveinya independen,” kata Fadjroel, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya menyatakan, lembaga survei pasti dibayar ketika melakukan survei. Dia menuturkan, justru akan menjadi “palsu” apabila ada lembaga survei mengaku tak dibayar. Meskipun, dia mengakui ada lembaga yang memang memiliki pendanaan kuat untuk melakukan survei independen.
Akan tetapi, masih kata dia, ketika lembaga survei dibayar, bukan berarti pembayar bisa sesuka hati mengorder hasil. Karena itulah, untuk memastikan validitas publikasi survei, lembaga pelaksana wajib membuka semua angka dan metodologi survei ke publik.
“Mereka juga harus siap diuji. Selain itu, ada kode etik pelaksana. Yang pasti, lihat juga rekam jejak lembaga survei itu. Apakah memang mereka sudah berpengalaman atau hanya muncul saat momentum tertentu. Lalu, lihat apakah lembaga survei hanya membela orang itu-itu saja atau berubahubah,” katanya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon justru berpendapat keras. Dia meminta agar lembaga survei yang berafiliasi terhadap salah satu parpol atau bakal capres tertentu, berani mengungkapnya ke publik. “Lembaga survei yang cenderung punya afiliasi kepada partai dan kandidat tertentu, sebaiknya menyatakan diri. Jangan pura-pura independen, padahal didanai salah satu partai atau kandidat,” kata Fadli.
Sementara itu, Juru Bicara Prabowo-Hatta, Nurul Arifin menyatakan, banyak lembaga survei saat ini yang tidak independen. Menurut dia, secara umum, hasil survei yang dipublikasikan itu hanya untuk menggiring opini, agar masyarakat tergiring pada tokoh yang dijual.
Cambuk
Ketua Tim Pemenangan Jokowi-JK sekaligus Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Tjahjo Kumolo menyatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan independensi lembaga survei. “Bagi kami, apa pun hasil survei tidak menjadi masalah. Yang penting adalah bagaimana strategi mendekatkan diri dan menjelaskan ke masyarakat visi dan misi JokowiJK agar bisa menang pada 9 Juli mendatang,” katanya.
Tim Jokowi-JK menegaskan tidak akan terlena dengan hasil survei. Hasil survei justru akan menjadi cambuk penyemangat Jokowi-JK untuk berkampanye.
“Kami tidak akan terlena dan berpuas diri. Hasil survei akan jadi cambuk bagi kami untuk kerja keras, cerdas, sistematis dan masif selama kampanye hingga Pilpres 9 Juli nanti,” kata Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah.
Dia menambahkan, pihaknya sangat menghormati survei yang dilakukan sejumlah pihak. “Kami hormati prakarsa, inisiatif, dan kreativitas lembaga survei untuk memotret aspirasi masyarakat. Seluruh survei yang gambarkan elektabilitas peningkatan JokowiJK, stagnansi dan penurunan, kami hargai,” imbuh anggota Tim Pemenangan Jokowi-JK ini.
Dia menyatakan, pihaknya menargetkan kemenangan yang cukup telak pada pilpres. “Target kami, pasangan Jokowi-JK bisa unggul 65%,” tegasnya.
Adapun, Sekjen Partai Amanat Nasionial (PAN) Taufik Kurniawan mengatakan, hasil survei lembaga eksternal dijadikan bahan referensi kajian strategis pemenangan pemilu pasangan Prabowo-Hatta. “Kami menyikapi hasil survei eksternal hanya untuk bahan referensi, tidak dapat dijadikan patokan hasil sesungguhnya dukungan masyarakat,” katanya.
Dia menambahkan, dalam rangka perumusan strategi pemenangan Prabowo-Hatta, Koalisi Merah Putih memiliki survei internal. Survei itu hasilnya tidak untuk dipublikasikan. “Kami tetap berpatokan pada survei internal. Kalau survei eksternal, terkadang tidak relevan atau sering meleset,” ucapnya.
Lumbung Suara
Peta lumbung suara dua pasangan capres semakin jelas. Pasangan Jokowi-JK dianggap memiliki basis massa yang cukup kuat di kalangan muslim di perkotaan. Sebaliknya, PrabowoHatta, dinilai meraup dukungan massa yang sangat besar dari luar Jawa. Dengan pemetaan tersebut, pasangan Jokowi-JK diharapkan minimal mampu mempertahankan basis massanya untuk meraih kemenangan.
Sebaliknya, Prabowo-Hatta dituntut untuk mencuri suara dari basis massa lawannya, agar memenangi Pilpres 9 Juli mendatang. “Jokowi alangkah baiknya mempertahankan basis massa yang sudah dimiliki. Kalau Prabowo sebaiknya terus menyerang atau menggempur basisbasis yang masih kosong, dan merebut suara dari kantong suara lawan,” kata Direktur Alvara Research Center (ARC) Hasanuddin Ali.
Dia memprediksi, hasil akhir pilpres mendatang sangat ketat. “Saya memprediksi selisih hasil pilpres nanti tidak lebih dari 5%,” ujarnya.
Berdasarkan survei ARC, Jokowi-JK unggul di kalangan muslim perkotaan. Jokowi-JK mendapat hasil sebesar 38,8% dibandingkan pasangan PrabowoHatta. “Elektabilitas pasangan Jokowi-JK di kalangan muslim kota sebesar 38,8%, sementara Prabowo-Hatta sebesar 29%,” kata Hasanuddin.
Menurut dia, hasil tersebut sangat menarik karena masih terdapat 32,3% yang belum menentukan pilihan. Dengan demikian, lanjut dia, masih terdapat ruang bagi masing-masing pasangan untuk menarik pemilih Muslim perkotaan.
“Melihat hasil survei, kami memprediksi pemenang pilpres masih sulit ditentukan. Masih cukup besar peluang bagi kedua pasangan dalam waktu hingga Juli nanti untuk mendapatkan perhatian Muslim kota dan secara umum hati rakyat,” ujarnya.
Pada bagian lain, dia menyatakan, kalangan muslim perkotaan yang berasal dari partai koalisi Jokowi-JK lebih solid mendukung pasangan nomor urut dua tersebut, yakni mencapai 67,8%. Sedangkan, pemilih dari partai koalisi Prabowo-Hatta terhadap pasangan nomor urut satu tersebut hanya 54,6%.
“Dari kelompok segmen Muslim kota Jokowi-JK dipilih sebagian besar nasionalis-religius. Secara geografis, elektabilitas Prabowo-Hatta cukup tinggi di luar Jawa. Sedangkan secara usia, terlihat kecenderungan bahwa pemilih muslim kota yang semakin muda lebih memilih pasangan Jokowi-JK daripada PrabowoHatta,” ucapnya.
Gengsi Jakarta
Pasangan Jokowi-JK diprediksi menang di DKI Jakarta. Sebab, pada emilihan legislatif (Pileg) 9 April lalu, PDI-P meraih hasil tertinggi di Jakarta.
Diketahui, PDI-P merupakan partai politik (parpol) utama yang mendukung Jokowi-JK. “Saya kira kemenangan PDI-P di Jakarta sudah menjadi preseden bahwa Jokowi-JK akan jadi preferensi pilihan masyarakat Jakarta. Jokowi-JK tetap akan menang di Jakarta,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens.
Menurut dia, masyakarat Jakarta sudah melihat sendiri kinerja Jokowi selama hampir 2 tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta. “Sekarang ini kita butuh pemimpin yang bisa bertindak bukan banyak bicara. Jokowi sudah beri cukup bukti di Jakarta,” ujarnya.
Dia menambahkan, Jakarta dapat dianggap sebagai barometer pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014. Meskipun, hampir tidak dapat dipastikan kandidat peraih suara terbanyak di Jakarta otomatis memenangkan pilpres. “Kalau Jakarta dianggap barometer iya. Karena kita bisa lihat nanti seperti apa masyarakat kelas menengah melihat dua pasangan capres dan cawapres ini,” imbuhnya.
Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, berdasarkan hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa masih unggul di Jakarta. Namun, lanjut dia, terdapat sekian besar pemilih yang belum menentukan pilihan.
“Dugaan saya, pemilih yang belum tentukan pilihan itu akan menunggu sampai debat kandidat. Relatif masyarakat Jakarta cukup cerdas. Mereka enggak mudah terperosok pada slogan. Mereka lebih kritis. Bisa saja pada pilpres nanti hasilnya akan berbeda dengan survei,” kata Ray.
Menurut dia, kedua pasangan jangan terjebak untuk menguasai atau memenangkan Jakarta. Pasalnya, jumlah pemilih di Jakarta hanya sekitar 7 juta atau 4% dari pemilih secara nasional.
“Pemilih terbesar itu ada di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di situlah pertempuran sesungguhnya. Kalau menang 70% di dua provinsi itu, maka 30% suara Indonesia hampir pasti didapat. Jakarta hanya soal citra dan gengsi saja. Sebenarnya enggak apa-apa kalah di Jakarta,” pungkas Direktur Lingkar Madani Indonesia ini.
Hasil seutuhnya berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang akan menentukan pemimpin mereka untuk 5 tahun ke depan. Tak ada salahnya banyak survei dirilis selama rakyat dapat memilah. (suarapembaruan.com 110614)
Berbicara survei pilpres, langsung terlintas di pikiran mengenai elektabilitas pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Diketahui, survei merupakan penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Tujuannya, tentu untuk mengetahui preferensi pemilih.
Lembaga survei Indonesia kian menjamur, tak terhitung jumlahnya. Terkadang, hasil survei kerap membingungkan pemilih. Sebab, hasilnya dapat berbeda-beda. Bahkan, muncul tudingan bahwa lembaga survei dibayar oleh pihak tertentu yang berkepentingan dalam pilpres. Masyarakat sendiri diharapkan tetap bijak dan tidak terpengaruh terhadap hasil survei.
Dalam beberapa hari terakhir ini, sejumlah lembaga survei merilis hasil survei mereka terkait elektabilitas pasangan caprescawapres. Sebagian besar hasil itu menempatkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) di peringkat satu. Jokowi-JK mengungguli pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network menyebutkan Jokowi-JK unggul 35,43% dibandingkan Prabowo-Hatta 22,75%. Sementara itu, Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) merilis elektabilitas Jokowi-JK 42,65% dan Prabowo-Hatta 28,35%. Pasangan PrabowoHatta unggul di hasil Survei dan Polling Indonesia (Spin) dengan 44,90% dan Jokowi-JK 40,10%.
Hal menarik dari hasil-hasil survei itu, jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) masih cukup tinggi. Undecided voters berada di angka 30% hingga 40%.
Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) Fadjroel Rachman berpendapat, publik harus memahami mekanisme kerja lembaga survei, sebelum melakukan kritik. Menurut dia, kerap terdapat pemahaman yang tak utuh jika sekadar menuduh sebuah survei bayaran.
Dia menjelaskan, acuan utama dan terpenting bagi publik dalam menyikapi hasil survei adalah metodologi. Metodologi merupakan alat objektif untuk melaksanakan survei. Sepanjang metodologi dipatuhi, maka pihak mana pun pendana survei takkan bisa memengaruhi hasil.
“Semua lembaga survei, entah yang dibayar atau tidak, tak bisa memengaruhi metodologi yang bersifat objektif. Sepanjang dipatuhi metodologinya, itu tidak ada kaitannya dengan pendana. Apalagi, kalau seperti lembaga kami, yang pendanaan surveinya independen,” kata Fadjroel, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya menyatakan, lembaga survei pasti dibayar ketika melakukan survei. Dia menuturkan, justru akan menjadi “palsu” apabila ada lembaga survei mengaku tak dibayar. Meskipun, dia mengakui ada lembaga yang memang memiliki pendanaan kuat untuk melakukan survei independen.
Akan tetapi, masih kata dia, ketika lembaga survei dibayar, bukan berarti pembayar bisa sesuka hati mengorder hasil. Karena itulah, untuk memastikan validitas publikasi survei, lembaga pelaksana wajib membuka semua angka dan metodologi survei ke publik.
“Mereka juga harus siap diuji. Selain itu, ada kode etik pelaksana. Yang pasti, lihat juga rekam jejak lembaga survei itu. Apakah memang mereka sudah berpengalaman atau hanya muncul saat momentum tertentu. Lalu, lihat apakah lembaga survei hanya membela orang itu-itu saja atau berubahubah,” katanya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon justru berpendapat keras. Dia meminta agar lembaga survei yang berafiliasi terhadap salah satu parpol atau bakal capres tertentu, berani mengungkapnya ke publik. “Lembaga survei yang cenderung punya afiliasi kepada partai dan kandidat tertentu, sebaiknya menyatakan diri. Jangan pura-pura independen, padahal didanai salah satu partai atau kandidat,” kata Fadli.
Sementara itu, Juru Bicara Prabowo-Hatta, Nurul Arifin menyatakan, banyak lembaga survei saat ini yang tidak independen. Menurut dia, secara umum, hasil survei yang dipublikasikan itu hanya untuk menggiring opini, agar masyarakat tergiring pada tokoh yang dijual.
Cambuk
Ketua Tim Pemenangan Jokowi-JK sekaligus Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Tjahjo Kumolo menyatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan independensi lembaga survei. “Bagi kami, apa pun hasil survei tidak menjadi masalah. Yang penting adalah bagaimana strategi mendekatkan diri dan menjelaskan ke masyarakat visi dan misi JokowiJK agar bisa menang pada 9 Juli mendatang,” katanya.
Tim Jokowi-JK menegaskan tidak akan terlena dengan hasil survei. Hasil survei justru akan menjadi cambuk penyemangat Jokowi-JK untuk berkampanye.
“Kami tidak akan terlena dan berpuas diri. Hasil survei akan jadi cambuk bagi kami untuk kerja keras, cerdas, sistematis dan masif selama kampanye hingga Pilpres 9 Juli nanti,” kata Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah.
Dia menambahkan, pihaknya sangat menghormati survei yang dilakukan sejumlah pihak. “Kami hormati prakarsa, inisiatif, dan kreativitas lembaga survei untuk memotret aspirasi masyarakat. Seluruh survei yang gambarkan elektabilitas peningkatan JokowiJK, stagnansi dan penurunan, kami hargai,” imbuh anggota Tim Pemenangan Jokowi-JK ini.
Dia menyatakan, pihaknya menargetkan kemenangan yang cukup telak pada pilpres. “Target kami, pasangan Jokowi-JK bisa unggul 65%,” tegasnya.
Adapun, Sekjen Partai Amanat Nasionial (PAN) Taufik Kurniawan mengatakan, hasil survei lembaga eksternal dijadikan bahan referensi kajian strategis pemenangan pemilu pasangan Prabowo-Hatta. “Kami menyikapi hasil survei eksternal hanya untuk bahan referensi, tidak dapat dijadikan patokan hasil sesungguhnya dukungan masyarakat,” katanya.
Dia menambahkan, dalam rangka perumusan strategi pemenangan Prabowo-Hatta, Koalisi Merah Putih memiliki survei internal. Survei itu hasilnya tidak untuk dipublikasikan. “Kami tetap berpatokan pada survei internal. Kalau survei eksternal, terkadang tidak relevan atau sering meleset,” ucapnya.
Lumbung Suara
Peta lumbung suara dua pasangan capres semakin jelas. Pasangan Jokowi-JK dianggap memiliki basis massa yang cukup kuat di kalangan muslim di perkotaan. Sebaliknya, PrabowoHatta, dinilai meraup dukungan massa yang sangat besar dari luar Jawa. Dengan pemetaan tersebut, pasangan Jokowi-JK diharapkan minimal mampu mempertahankan basis massanya untuk meraih kemenangan.
Sebaliknya, Prabowo-Hatta dituntut untuk mencuri suara dari basis massa lawannya, agar memenangi Pilpres 9 Juli mendatang. “Jokowi alangkah baiknya mempertahankan basis massa yang sudah dimiliki. Kalau Prabowo sebaiknya terus menyerang atau menggempur basisbasis yang masih kosong, dan merebut suara dari kantong suara lawan,” kata Direktur Alvara Research Center (ARC) Hasanuddin Ali.
Dia memprediksi, hasil akhir pilpres mendatang sangat ketat. “Saya memprediksi selisih hasil pilpres nanti tidak lebih dari 5%,” ujarnya.
Berdasarkan survei ARC, Jokowi-JK unggul di kalangan muslim perkotaan. Jokowi-JK mendapat hasil sebesar 38,8% dibandingkan pasangan PrabowoHatta. “Elektabilitas pasangan Jokowi-JK di kalangan muslim kota sebesar 38,8%, sementara Prabowo-Hatta sebesar 29%,” kata Hasanuddin.
Menurut dia, hasil tersebut sangat menarik karena masih terdapat 32,3% yang belum menentukan pilihan. Dengan demikian, lanjut dia, masih terdapat ruang bagi masing-masing pasangan untuk menarik pemilih Muslim perkotaan.
“Melihat hasil survei, kami memprediksi pemenang pilpres masih sulit ditentukan. Masih cukup besar peluang bagi kedua pasangan dalam waktu hingga Juli nanti untuk mendapatkan perhatian Muslim kota dan secara umum hati rakyat,” ujarnya.
Pada bagian lain, dia menyatakan, kalangan muslim perkotaan yang berasal dari partai koalisi Jokowi-JK lebih solid mendukung pasangan nomor urut dua tersebut, yakni mencapai 67,8%. Sedangkan, pemilih dari partai koalisi Prabowo-Hatta terhadap pasangan nomor urut satu tersebut hanya 54,6%.
“Dari kelompok segmen Muslim kota Jokowi-JK dipilih sebagian besar nasionalis-religius. Secara geografis, elektabilitas Prabowo-Hatta cukup tinggi di luar Jawa. Sedangkan secara usia, terlihat kecenderungan bahwa pemilih muslim kota yang semakin muda lebih memilih pasangan Jokowi-JK daripada PrabowoHatta,” ucapnya.
Gengsi Jakarta
Pasangan Jokowi-JK diprediksi menang di DKI Jakarta. Sebab, pada emilihan legislatif (Pileg) 9 April lalu, PDI-P meraih hasil tertinggi di Jakarta.
Diketahui, PDI-P merupakan partai politik (parpol) utama yang mendukung Jokowi-JK. “Saya kira kemenangan PDI-P di Jakarta sudah menjadi preseden bahwa Jokowi-JK akan jadi preferensi pilihan masyarakat Jakarta. Jokowi-JK tetap akan menang di Jakarta,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens.
Menurut dia, masyakarat Jakarta sudah melihat sendiri kinerja Jokowi selama hampir 2 tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta. “Sekarang ini kita butuh pemimpin yang bisa bertindak bukan banyak bicara. Jokowi sudah beri cukup bukti di Jakarta,” ujarnya.
Dia menambahkan, Jakarta dapat dianggap sebagai barometer pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014. Meskipun, hampir tidak dapat dipastikan kandidat peraih suara terbanyak di Jakarta otomatis memenangkan pilpres. “Kalau Jakarta dianggap barometer iya. Karena kita bisa lihat nanti seperti apa masyarakat kelas menengah melihat dua pasangan capres dan cawapres ini,” imbuhnya.
Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, berdasarkan hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa masih unggul di Jakarta. Namun, lanjut dia, terdapat sekian besar pemilih yang belum menentukan pilihan.
“Dugaan saya, pemilih yang belum tentukan pilihan itu akan menunggu sampai debat kandidat. Relatif masyarakat Jakarta cukup cerdas. Mereka enggak mudah terperosok pada slogan. Mereka lebih kritis. Bisa saja pada pilpres nanti hasilnya akan berbeda dengan survei,” kata Ray.
Menurut dia, kedua pasangan jangan terjebak untuk menguasai atau memenangkan Jakarta. Pasalnya, jumlah pemilih di Jakarta hanya sekitar 7 juta atau 4% dari pemilih secara nasional.
“Pemilih terbesar itu ada di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di situlah pertempuran sesungguhnya. Kalau menang 70% di dua provinsi itu, maka 30% suara Indonesia hampir pasti didapat. Jakarta hanya soal citra dan gengsi saja. Sebenarnya enggak apa-apa kalah di Jakarta,” pungkas Direktur Lingkar Madani Indonesia ini.
Hasil seutuhnya berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang akan menentukan pemimpin mereka untuk 5 tahun ke depan. Tak ada salahnya banyak survei dirilis selama rakyat dapat memilah. (suarapembaruan.com 110614)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
PEMILU