Hasil Quick Count Pilpres 2014. Prabowo Hatta VS Jokowi-JK. Populi Center 49.05% :50.95%. CSIS 48.10% :51.90%. Litbang Kompas 47.66% :52.33%. IPI 47.05% :52.95%. LSI 46.43% :53.37%. RRI 47.32% :52.68%. SMRC 47.09% :52.91%. Puskaptis 52.05% :47.95%. IRC 51.11% :48.89%. LSN 50.56% :49.94%. JSI 50.13% :49.87% .

KABINET KERJA

Rabu, 11 September 2013

Mengapa Pilih Capres lewat Konvensi?

pemiluindonesiaku.blogspot.com - Jika tak dapat meraih posisi presiden, setidaknya perolehan suara partai harus naik atau dipertahankan. Inilah logika sederhananya. Agar naik, partai harus mampu melakukan hegemoni atas wacana panggung politik.

Kekuatan sebuah partai pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yakni figur, ideologi, dan soliditas basis massa. Ketika ketiganya menyatu dalam satu momen pemilu bebas, bisa dipastikan sebuah partai akan meraih dukungan maksimal.

Kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam Pemilu 1999 adalah perwujudan sempurna dari bersatunya tiga kekuatan itu. Bahkan, jika memiliki satu atau dua unsur itu, partai pun dapat bertahan dalam persaingan.

Melesatnya suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari partai papan bawah menjadi partai menengah pada Pemilu 2004 ditentukan oleh kuatnya ideologi dan soliditas basis massa. Partai Demokrat yang hanya mengandalkan kekuatan figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa langsung masuk sebagai partai papan menengah pada Pemilu 2004 dan menjadi partai pemenang pada Pemilu 2009.

Partai-partai yang sedang menurun pamornya, tak bisa lain, harus bekerja ekstra keras untuk bertahan. Konvensi adalah cara instan untuk mengelola eksistensi partai di panggung politik, dengan menguasai wacana publik. Jika tidak ada satu figur yang sangat kuat, setidaknya sebuah partai harus memiliki ”lebah-lebah pengumpul madu” agar perhatian publik tersedot. Konvensi Partai Demokrat yang prosesnya sudah dimulai juga gagasan di dalam tubuh Partai Golkar yang mulai digulirkan, setidaknya mencerminkan upaya itu.

Partai Golkar tampaknya kembali sadar akan situasi yang dihadapinya sehingga hari-hari belakangan mulai mengubah iklannya di televisi, dari yang semula hanya menonjolkan Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon presiden tunggal dari Golkar menjadi ajakan untuk melakukan konvensi. Konvensi Partai Golkar pada Pemilu 2004 menjadi pelajaran, pentingnya menjadi partai yang tampak ”bergerak” agar mata publik tersedot pada peran yang sedang dimainkan.

Konvensi 2004

Dalam Pemilu 1999, Golkar memperoleh 23.741.749 suara atau 22,44 persen, kalah dari PDI-P yang mendapat 33,74 persen. Sebuah pukulan telak bagi partai yang sejak Pemilu 1971 selalu menjadi pemenang pemilu. Saat itu, kejatuhan Golkar tampaknya akan terus terjadi, mengingat ketua umumnya, Akbar Tandjung, sedang dalam proses pengadilan terkait dugaan korupsi. Namun, manuver politik dengan melakukan konvensi kemudian telah menyelamatkan partai ini dari keterpurukan.

Di tengah jatuhnya pamor PDI-P dan relatif stagnannya partai-partai lain, Golkar menjadi partai yang menguasai panggung wacana. Dengan konvensi, Golkar berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh penting dalam percaturan politik, menjadi daya tarik yang mempertontonkan kegairahan, mencerminkan sebuah partai yang sedang berkembang.

Konvensi itu diikuti oleh 19 nama tokoh dari berbagai kalangan, mulai dari Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Wiranto, Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, Prabowo Subianto, dan Jusuf Kalla. Berikutnya adalah Muladi, Anwar Fuady, Harjono Soejono, Kemala Motik Gafur, Marwah Daud Ibrahim, Nurrulah Marzuki, R Muhono, Rivai Siata, Setiawan Djody, Tabrani Rab, Theo L Sambuaga, dan Tuti Alawiyah. Cendekiawan almarhum Nurcholish Madjid atau Cak Nur pun sempat tergoda untuk ikut konvensi, meskipun akhirnya membatalkan niatnya. Setelah melakukan konvensi selama setahun, pada Pemilu 2004, Golkar menuai hasil yang cukup memuaskan. Partainya dapat bertahan, bahkan menjadi partai pemenang.

Setelah berhasil menguasai panggung media lewat konvensi dan memenangi Pemilu 2004, Golkar kembali terpuruk dalam Pemilu 2009. Tidak memiliki figur yang kuat, meredupnya ideologi ”Golkar Baru”, menjadikan partai berlambang beringin itu hanya mengandalkan massa tradisional yang masih cukup kuat mengakar di desa-desa.

Demikian pula dengan Partai Demokrat. Setelah SBY tak mungkin lagi dicalonkan dalam Pemilu 2014, partai ini diprediksi akan mengalami kemunduran yang cukup drastis. Selain tiadanya figur yang kuat, ideologi partai juga hampir kandas setelah sejumlah pengurus terasnya diduga tersangkut korupsi. Partai ini hanya mengandalkan basis massa yang rentan beralih pilihan.

Survei Litbang Kompas, Juli 2013, memprediksi Demokrat hanya akan mendapatkan sekitar 10 persen suara, sangat mungkin jatuh menjadi sekadar partai papan menengah.

Konvensi Partai Demokrat yang dilakukan secara terbuka menampung tokoh-tokoh dari dalam dan luar partai adalah sebuah pilihan rasional di tengah kurang menonjolnya kader-kader di dalam tubuh partai sendiri. Sayangnya, sejumlah tokoh potensial yang diundang ikut konvensi menyatakan penolakannya.

Keengganan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk masuk ke dalam kancah konvensi dan penolakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih, dan Direktur Utama Lion Air Rusdi Kirana menjadi pukulan telak bagi Konvensi Demokrat. Terutama JK, Mahfud dan Rustriningsih adalah sosok-sosok yang memiliki popularitas dan basis massa riil cukup besar.

Pada akhirnya, hanya 11 nama yang dipastikan untuk mengikuti tahapan konvensi. Mereka adalah anggota Badan Pemeriksa Keuangan Ali Masykur Musa, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal, mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hayono Isman, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Pramono Edhie Wibowo, dan Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang.

Kini, Konvensi Demokrat hanya bergantung pada kemasan acara yang akan dimainkan, apakah mampu menghasilkan tontonan segar berakhir klimaks ataukah menjadi cerita menyebalkan yang ditinggalkan pemain dan penonton.

Bambang Setiawan, Litbang Kompas
Sumber: kompas.com - Rabu, 11 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMILU